Di Afghanistan, Lonjakan Covid-19 Varian Omicron Hantam Sistem Kesehatan yang Sudah Runtuh
Kompas dunia | 10 Februari 2022, 04:35 WIBKABUL, KOMPAS.TV - Sistem kesehatan di Afghanistan yang terbilang sudah runtuh akibat konflik, kini dihantam pula oleh lonjakan Covid-19 varian Omicron.
Bagaimana tidak, dari 33 rumah sakit (RS) yang ada di sana, hanya 5 (lima) rumah sakit saja yang masih melakukan perawatan pasien Covid-19.
Sisanya terpaksa ditutup sejak beberapa bulan terakhir lantaran kekurangan dokter, obat-obatan, dan pemanas ruangan saat musim dingin ini.
Di RS yang merawat pasien Covid-19 di wilayah Kabul itu diceritakan bahwa staf hanya bisa menghidupkan pemanas ruangan pada malam hari karena kekurangan bahan bakar.
Padahal suhu musim dingin turun di bawah titik beku pada siang hari.
Oleh karena itu, pasien pun harus dibungkus selimut berlapis-lapis untuk menghangatkan suhu tubuhnya saat berjuang melawan Covid-19.
Seperti dilansir Associated Press, Rabu (9/2/2022), petaka itu terjadi ketika negara yang hancur secara ekonomi itu dilanda peningkatan tajam jumlah kasus virus corona.
Direktur RS itu, Dr. Mohammed Gul Liwal mengatakan, mereka membutuhkan berbagai hal, mulai dari oksigen hingga obat-obatan.
Meskipun fasilitas di RS Penyakit Menular Jepang-Afghanistan itu memiliki 100 tempat tidur, tetapi bangsal Covid-19 selalu penuh oleh jumlah pasien.
Setiap hari rumah sakit ini menerima satu atau dua pasien yang terinfeksi virus corona.
"Dalam dua pekan terakhir, RS kedatangan 10 hingga 12 pasien baru setiap hari yang harus menjalani rawat inap," kata Mohammed Gul Liwal.
“Situasinya semakin memburuk dari hari ke hari,” tutur Liwal, menegaskan saat berbicara di dalam ruang konferensi yang dingin.
Sejak Taliban mengambil alih negara itu, enam bulan lalu, karyawan rumah sakit hanya menerima gaji satu bulan, pada bulan Desember.
Baca Juga: AS Buru Pemimpin ISIS Afghanistan, Kepalanya Dihargai Imbalan Rp143 Miliar
Sistem perawatan kesehatan Afghanistan yang bertahan selama hampir dua dekade itu dengan dukungan hampir seluruhnya dari dana donor internasional kini hancur lantak sejak Taliban kembali berkuasa.
Bahkan, ekonomi Afghanistan jatuh setelah hampir $10 miliar dollar AS aset di luar negeri dibekukan dan bantuan keuangan kepada pemerintah sebagian besar dihentikan.
Runtuhnya sistem kesehatan hanya memperburuk krisis kemanusiaan di negara itu.
Sekitar 90 persen populasi jatuh di bawah tingkat kemiskinan.
Tidak sedikit keluarga-keluarga yang tidak mampu membeli makanan, satu juta anak terancam kelaparan.
"Varian Omicron memukul Afghanistan dengan keras," kata Liwal.
Namun demikian, lanjut Liwal, itu hanya dugaan karena negara masih menunggu peralatan yang menguji khusus untuk varian tersebut.
"Mereka seharusnya tiba sebelum akhir bulan lalu," kata Juru bicara Kementerian Kesehatan Masyarakat, Dr. Javid Hazhir.
Pihak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan, Afghanistan akan mendapatkan peralatan uji Covid-19 yang mampu mendeteksi varian Omicron pada akhir Februari.
Menurut WHO, antara 30 Januari dan 5 Februari, laboratorium publik di Afghanistan menguji 8.496 sampel yang hampir setengahnya positif Covid-19 atau sekitar 47,5 persen.
Hingga hari Selasa, WHO mencatat 7.442 kematian dan hampir 167.000 infeksi sejak dimulainya pandemi selama dua tahun ini.
Baca Juga: PBB Ungkap Putra Osama Bin Laden Bertemu Taliban, Kelompok Teroris Ditakutkan Bebas di Afghanistan
Sementara itu, pihak pemerintahan baru Taliban mengatakan sedang mencoba untuk mendorong vaksinasi Covid-19 pada populasi yang skeptis dan berpandangan vaksin berbahaya.
Dengan stok 3,2 juta dosis vaksin, Hazhir mengatakan, pemerintah meluncurkan kampanye vaksinasi melalui masjid lewat ulama dan klinik vaksin keliling untuk membuat lebih banyak orang disuntik vaksin Covid-19.
Saat ini, hampir 27 persen dari 38 juta orang Afghanistan telah menjalani vaksinasi Covid-19.
Vaksin itu sebagian besar dengan vaksin Johnson dan Johnson dosis tunggal.
"Di warga Afghanistan untuk mengikuti protokol keselamatan minim, seperti mengenakan masker dan menjaga jarak sosial, hampir tidak mungkin," kata Liwal.
Baca Juga: Taliban Memohon Negara Islam Mengakui Pemerintahannya di Afghanistan
Sementara itu, Kementerian Kesehatan Masyarakat Afghanistan menjalankan kampanye penyadaran tentang pentingnya mengenakan masker dan menjaga jarak sosial, tetapi kebanyakan orang tidak peduli.
Bahkan di rumah sakit Afghanistan-Jepang, yang banyak memiliki tanda peringatan wajib masker, kebanyakan orang duduk di aula rumah sakit tanpa mengenakan masker.
Di unit perawatan intensif, di mana setengah dari 10 pasien di bangsal menggunakan ventilator, dokter dan petugas hanya mengenakan masker bedah dan gaun pelindung saat mereka berpindah dari tempat tidur ke tempat tidur pasien lain.
Kepala unit perawatan intensif di RS, Dr. Naeemullah mengatakan, dia membutuhkan lebih banyak ventilator dan yang lebih mendesak adalah butuh dokter yang terlatih untuk menggunakan ventilator.
Walaupun Naeemullah kewalahan dan jarang dibayar upahnya, tetapi merasa berkewajiban untuk melayani pasiennya.
Tetapi Liwal mengatakan, beberapa dokter telah meninggalkan Afghanistan.
Sebagian besar dari 200 karyawan rumah sakit datang untuk bekerja secara teratur walaupun berbulan-bulan tanpa bayaran.
Pada bulan Desember, sebuah badan amal berbasis di Amerika Serikat yang berafiliasi dengan Universitas Johns Hopkins menyediakan dana.
Tetapi hanya mampu menutupi kebutuhan selama dua bulan, yakni memberi staf rumah sakit gaji bulan Desember dan janji untuk memberi gaji di bulan Januari.
Baca Juga: Pameran Foto Pengungsi Afghanistan Bertajuk Albania from My Eyes, Gambarkan Kebaikan Albania
Untuk itulah, kini Kementerian Kesehatan masyarakat setempat dalam perundingan dengan WHO untuk mengambil alih biaya menjalankan rumah sakit hingga bulan Juni.
Liwal melanjutkan, rumah sakit Kabul lainnya dulu dapat menampung beberapa pasien, tetapi sekarang tidak lagi memiliki sumber daya.
"Dengan kurangnya dana dan staf yang pergi, 33 fasilitas yang menawarkan perawatan COVID-19 secara nasional telah ditutup," katanya.
Satu-satunya ahli mikrobiologi rumah sakit Afghanistan-Jepang, Dr. Faridullah Qazizada, berpenghasilan kurang dari $1.000 sebulan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan.
Namun begitu, dia hanya menerima gaji satu bulan sejak Agustus.
Peralatan dan fasilitas untuk bekerja menyelamatkan nyawa manusia hampir tidak memadai.
“Seluruh sistem kesehatan telah hancur,” katanya.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV/Associated Press