> >

Kelaparan dan Jurang Kehancuran Ekonomi Membayangi Berlarutnya Pandemi Covid-19 di Nigeria

Kompas dunia | 16 Juli 2021, 03:45 WIB
Perempuan dari kelas miskin dan menengah yang jatuh miskin, mengantri pada pembagian makanan sumbangan di Oworoshoki, Kota Lagos, Nigeria (Sumber: Straits Times via Reuters)

LONDON/KOMPAS.TV - Shehu Ismaila Gbadebo adalah seorang ayah di Nigeria. Dia bekerja sebagai tukang cukur selama dua dekade sebelum pandemi Covid-19 mengacaukan hidupnya dan jutaan lain rakyat Nigeria. 

Uang yang dia hasilkan di kios sewaannya di pinggiran Lagos, kota besar Nigeria yang ramai, dulunya cukup untuk membayar tagihan, kebutuhan keluarga, dan menyisihkan sedikit untuk ditabung.

Sekarang, hidup keluarga Ismaila bergantung pada sumbangan makanan, dan terkadang Ismaila tidak makan agar istri dan seluruh keluarganya bisa makan dengan porsi yang cukup setiap harinya.

Sejak Covid-19 melanda Nigeria, harga beberapa bahan pokok seperti telur, bawang, dan minyak kelapa sawit, melonjak naik 30 persen lebih. Nigeria adalah ekonomi terbesar dengan penduduk 206 juta orang, terbanyak di Afrika.

Kini lebih sedikit orang yang mampu membayar ongkos pangkas rambut, dan mereka yang mampu membayar, kerap menuntut diskon dari tarif biasa yang hanya 500 naira atau setara sekitar Rp18 ribu per kepala.

"Uang yang saya dapatkan tidak cukup untuk apa yang kami butuhkan," kata Gbadebo, 38, seperti dikutip Straits Times, setelah melayani seorang pelanggan di kios pangkas rambutnya.

Baca Juga: Wabah Kolera Tewaskan 325 Orang di Nigeria pada Paruh Pertama 2021

Perempuan dari kelas miskin selfie usai mengantri pembagian makanan sumbangan di Oworoshoki, Kota Lagos, Nigeria (Sumber: Straits Times via Reuters)

Jutaan orang Nigeria sama seperti Gbadebo, yang dulunya memiliki pijakan keuangan yang cukup kuat, kini tidak lagi dapat diandalkan untuk memberi makan diri mereka sendiri atau keluarga mereka.

Pada hari Kamis, (15/07/2021), tujuh wanita terinjak-injak hingga tewas di timur laut Nigeria saat distribusi makanan bagi kaum miskin.

Sekitar 18 persen rumah tangga di Nigeria memiliki setidaknya satu orang dewasa yang tidak makan sepanjang hari, dibandingkan dengan 6 persen sebelum pandemi, menurut Bank Dunia.

Inflasi mendekati titik tertinggi sepanjang masa, dan harga pangan menyumbang hampir 70 persen dari kenaikan infasi tersebut.

Badan pangan PBB sudah mewanti-wanti bahwa biaya impor pangan di seluruh dunia diperkirakan akan melonjak hingga mencapai rekor tahun ini, karena kenaikan harga untuk hampir semua komoditas pertanian dan kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi dan pengiriman.

Namun di Nigeria, inflasi yang tinggi memperparah ekonomi yang sebenarnya sudah terseok-seok.

Naik tajamnya angka pengangguran dan situasi yang makin tidak aman di wilayah pertanian menyeret kaum yang sebelumnya masuk kelas menengah jatuh ke jurang kesulitan ekonomi yang parah.

Beberapa ahli memperingatkan bahaya malnutrisi dan kelaparan yang akan makin buruk serta potensi kerusuhan yang mengikuti.

"Apa yang kita alami di Nigeria berbeda dari apa yang dialami di seluruh dunia," kata Idayat Hassan, direktur Pusat Demokrasi dan Pembangunan yang berbasis di Abuja.

Menurut Hassa jaring pengaman sosial yang sangat terbatas di negara itu hanya mampu memberi sangat sedikit bantuan bagi jutaan orang. "Kejahatan sebenarnya meroket setiap hari, karena orang berusaha memenuhi kebutuhan dasar."

Baca Juga: 45 Warga Sipil Tewas Dibantai Kelompok Militan di Faru, Nigeria

Aliyu Ladan Jangebe, ayah yang keempat anak perempuannya diculik oleh gerombolan bersenjata dari sekolah mereka di Desa Jangebe, Zamfara, Nigeria. (Sumber: AP Photo/Ibrahim Mansur)

Pada Sabtu sore dengan mendung menggantung hitam, lusinan wanita berbaris di lingkungan Oworonshoki di tepi kota Lagos saat lembaga Lagos Food Bank Initiative membagikan paket beras, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya.

Presiden lembaga tersebut, Michael Sunbola, mengatakan kebutuhan saat ini 40 persen lebih tinggi dari sebelum pandemi.

Itu adalah kali pertama lembaga tempat Michael Sunbola bekerja mendistribusikan makanan di wilayah Oworonshoki.

Wilayah itu dikenal sebagai wilayah campuran, di mana blok apartemen berdampingan dengan gubuk-gubuk bobrok.

"Keluarga kelas menengah, orang yang biasanya tidak pernah membayangkan sampai harus mengantre untuk mendapat bahan makanan, sekarang masuk dalam kategori orang yang kami layani," kata Sunbola.

Bank Dunia memperkirakan guncangan harga pada tahun 2020 mendorong tambahan 7 juta orang Nigeria ke dalam kemiskinan, dan jumlah itu adalah peningkatan hampir 10 persen.

Marco Hernandez, ekonom utama Bank Dunia untuk Nigeria, mengatakan melemahnya mata uang naira, pembatasan perdagangan dan penutupan perbatasan darat untuk mencegah penyelundupan juga mendorong harga naik tajam.

Kenaikan biaya juga memukul bank makanan pemberi bantuan; sekantong kacang 100 kg yang sebelum Covid-19 melanda harganya 30.000 naira sekarang harganya jadi 65.000 naira, memaksa lembaga tersebut memotong jumlah makanan di setiap bungkusnya.

Kacang dan bahan pokok lainnya ditanam terutama di utara Nigeria yang semakin situasi keamanannya makin tidak stabil.

Baca Juga: Gerombolan Bersenjata Culik 150 Murid dari Pesantren di Nigeria

Seorang ibu akhirnya dapat kembali bersua dengan anaknya yang menjadi korban penculikan kelompok pemberontak bersenjata Boko Haram di Nigeria, Jumat (18/12). (Sumber: AP Photo / Sunday Alamba)

Para legislator memperingatkan pada bulan April bahwa negara itu "terbakar" karena gelombang kekerasan dan pelanggaran hukum.

Pada bulan November, gerilyawan garis keras Islam memenggal kepala puluhan petani di negara bagian Borno timur laut.

Sementara di barat laut, geng-geng bersenjata menculik untuk meminta uang tebusan sehingga membuat para petani meninggalkan ladang mereka.

Seorang pejabat di negara bagian Kaduna barat laut memperingatkan, ketidakamanan sudah memukul telak hasil panen dan "mempercepat krisis pangan".

Kembali di Lagos, Gbadebo si tukang cukur mengatakan istrinya, yang saat ini berada di rumah bersama ketiga anak mereka, termasuk seorang bayi berusia satu bulan, akan segera mulai bekerja untuk membantu menghidupi keluarga.

"Itu tidak mudah," katanya. "Sebelum Covid semuanya sedikit lebih baik."

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Straits Times


TERBARU