> >

Sudah 510 Orang Tewas akibat Brutalitas Militer Myanmar, Para Demonstran Tolak Menyerah

Kompas dunia | 30 Maret 2021, 15:06 WIB
Seorang pengunjuk rasa anti-kudeta melemparkan bom asap terhadap tindakan keras polisi di kota Thaketa Yangon, Myanmar, Sabtu, 27 Maret 2021 (Sumber: AP Photo)

 

MANDALAY, KOMPAS.TV - Asosiasi Bantuan Tahanan Politik di Myanmar mencatat sebanyak 510 orang telah tewas dalam protes anti kudeta Myanmar sejak 1 Februari 2021.

 

Analis menyebutkan bahwa kebrutalan yang dilakukan oleh militer Myanmar, Tatmadaw, tidak akan menghalangi para demonstran.

"Hebatnya, meski Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) terdiri dari demonstran yang tak bersenjata dan membuat topi timah buatan sendiri, mereka mampu menghadang Tatmadaw yang kuat," ujar senior di Institut Kajian Keamanan dan Internasional, Universitas Chukalongkorn di Bangkok, Gwen Robinson, dikutip dari Al Jazeera, Selasa (30/3/2021).

Baca Juga: Pesta Mewah Pimpinan Junta Militer Myanmar di Hari Berdarah, Kini Total 510 Orang Telah Tewas

Dengan telah tewasnya 510 orang hanya dalam tempo dua bulan, Robinson menilai Myanmar bisa berakhir menjadi negara gagal dengan kediktatoran brutal. Tapi, kenyataannya, para demonstran ini belum mau menyerah.

Berikut perbincangan Al Jazeera dengan lima demonstran mengenai alasan mereka tetap ngotot turun ke jalan dan perkiraan apa yang akan terjadi selanjutnya.

1. Demonstran Garis Depan

Perempuan berusia 20 tahun bernama Fox mengatakan, ia dan kelompoknya telah berdemonstrasi secara damai sampai Tatmadaw membunuh teman-temannya.

"Saat itukah kami memutuskan melawan," ujar Fox yang merupakan bagian demonstran garis depan.

Baca Juga: Kebiadaban Junta Militer Myanmar, Tembaki Pelayat Pemakaman

Kelompok demonstran ini mengalami banyak hal dalam protes selama beberapa minggu terakhir, hingga terpaksa melarikan diri setelah tentara menembak langsung ke arah mereka.

"Mereka menyandera, menodongkan senjata ke orang yang berjalan di sekitar garis pertahanan. Dan karena mereka memiliki sandera, orang-orang tak lagi menyerang militer karena mereka tidak ingin menyakiti orang yang tidak bersalah," jelas Fox.

Dalam kelompok ini, Fox membantu membangun barikade karung pasir. Sayangnya, tentara menggunakan taktik brutal untuk menyingkirkannya.

"Setiap orang takut disakiti atau dibunuh, tetapi pada saat yang sama lebih menyakitkan memikirkan tentang apa yang akan dilakukan militer jika mereka memenangkan ini," ungkap Fox.

Baca Juga: Junta Militer Myanmar Kian Beringas, Bakar Warga Hidup-hidup

2. The Organiser

Aktivis online bernana Thet mendukung CDM dengan memata-matai militer kemudian mengunggahnya di Instagramnya. Ia mengumpulkan, merangkum, dan membagikan informasi.

"Saya memiliki sepeda dan saya pergi untuk mengidentifikasi seperti apa pola gerakan militer dan kota-kota mana saja yang akan terkena pukulan paling keras," ujarnya.

Thet juga menugaskan dirinya untuk menghitung jumlah orang yang terbunuh oleh militer serta mencari demonstran yang hilang. 

Baca Juga: Panglima Militer 12 Negara Kutuk Jalan Kekerasan yang Diambil Militer Myanmar

Aktivis berusia 20-an ini mengatakan telah membangun jaringan koneksi untuk menemukan rumah yang aman bagi para pemimpin demonstran yang dipaksa sembunyi.

"Yang pernah bekerja dengan saya belum tertangkap dan saya harap tetap seperti itu," lanjutnya.

Di tengah kekerasan militer yang semakin brutal, para demonstran menuliskan surat kematian kepada keluarga mereka dan publik.

Thet juga menulis suratnya sendiri dan mengatakan bahwa ia ingin menyumbangkan organnya kepada orang yang membutuhkan.

Baca Juga: Ribuan Warga Desa Suku Karen Mengungsi ke Thailand, Selamatkan Diri dari Serangan Udara Myanmar

3. Pendeta

U Man, seorang pendeta yang memimpin jemaat di Yangon mengatakan, ia memberi dukungan spiritual kepada para demonstran. Ia juga mengumpulkan dana untuk membeli peralatan pelindung seperti masker gas dan helm.

"Sebagai pendeta agama Kristen, saya tidak ingin merekomendasikan siapa pun untuk menggunakan kekerasan. Saya tahu orang-orang yang pernah dipukuli, sangat sulit bagi saya saat marah dan sedih. Jika saya memiliki senjata, saya akan menggunakannya untuk melawan mereka," ujar U Man.

U Man berkata, dia berdoa bersama anak-anak dan demonstran sebelum turun ke jalan.

Baca Juga: Sudah 300 Lebih Tewas dalam Demo Kudeta Myanmar

4. Guru

Aung Myo Zaw, seorang guru berusia 32 tahun mengaku pernah terkena gas air mata dan melihat teman-temannya tertembak peluru karet.

Meski demikian, ia mengaku tidak takut ditembak saat melakukan protes karena kelompok demonstran terus menjaga semangat perlawanan dengan membuat poster dan strategi protes.

"Saya terinspirasi oleh keberanian orang-orang dan semangat melawan. Rasanya aneh merasa takut dan penuh harapan pada saat yang sama," ungkapnya.

Baca Juga: Militer Myanmar Unjuk Kekuatan Lewat Parade di Tengah Protes Kudeta

5. Dokter

Thiha Tun, dokter berusia 30 tahun bergabung dengan pekerja medis dan pegawai negeri mendirikan CDM pada 2 Februari lalu. 

Di sana, ia mendapat bagian di tim perlindungan medis yang memberikan pertolongan pertama kepada pengunjuk rasa yang tumbang.

"Luka itu bermacam-macam, mulai dari luka memar, luka robek sampai luka tembus. Cedera ini disebabkan oleh pentungan, peluru karet, dan peluru tajam," paparnya.

Thiha mengatakan, situasi saat ini sangat berbahaya dana banyak dari kelompoknya yang melakukan pelarian dan bersembunyi. Dokter dan perawat pun mempelajari teknik perawatan trauma secara online.

Baca Juga: 628 Demonstran Anti-kudeta Militer Myanmar Dibebaskan

"Saya benar-benar tidak ingin negara saya hancur oleh perang. Saya tidak berpikir kita dapat menghindarinya karena junta tidak memberi kita pilihan. Mereka tidak akan mundur untuk melepaskan kekuatan," kata Thiha.

Ia mengaku tidak akan menyerah hingga pemerintah yang sah kembali untuk membentuk negara federal yang demokratis.

Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Eddward-S-Kennedy

Sumber : Kompas TV


TERBARU