Sudah 510 Orang Tewas akibat Brutalitas Militer Myanmar, Para Demonstran Tolak Menyerah
Kompas dunia | 30 Maret 2021, 15:06 WIBAktivis berusia 20-an ini mengatakan telah membangun jaringan koneksi untuk menemukan rumah yang aman bagi para pemimpin demonstran yang dipaksa sembunyi.
"Yang pernah bekerja dengan saya belum tertangkap dan saya harap tetap seperti itu," lanjutnya.
Di tengah kekerasan militer yang semakin brutal, para demonstran menuliskan surat kematian kepada keluarga mereka dan publik.
Thet juga menulis suratnya sendiri dan mengatakan bahwa ia ingin menyumbangkan organnya kepada orang yang membutuhkan.
Baca Juga: Ribuan Warga Desa Suku Karen Mengungsi ke Thailand, Selamatkan Diri dari Serangan Udara Myanmar
3. Pendeta
U Man, seorang pendeta yang memimpin jemaat di Yangon mengatakan, ia memberi dukungan spiritual kepada para demonstran. Ia juga mengumpulkan dana untuk membeli peralatan pelindung seperti masker gas dan helm.
"Sebagai pendeta agama Kristen, saya tidak ingin merekomendasikan siapa pun untuk menggunakan kekerasan. Saya tahu orang-orang yang pernah dipukuli, sangat sulit bagi saya saat marah dan sedih. Jika saya memiliki senjata, saya akan menggunakannya untuk melawan mereka," ujar U Man.
U Man berkata, dia berdoa bersama anak-anak dan demonstran sebelum turun ke jalan.
Baca Juga: Sudah 300 Lebih Tewas dalam Demo Kudeta Myanmar
4. Guru
Aung Myo Zaw, seorang guru berusia 32 tahun mengaku pernah terkena gas air mata dan melihat teman-temannya tertembak peluru karet.
Meski demikian, ia mengaku tidak takut ditembak saat melakukan protes karena kelompok demonstran terus menjaga semangat perlawanan dengan membuat poster dan strategi protes.
"Saya terinspirasi oleh keberanian orang-orang dan semangat melawan. Rasanya aneh merasa takut dan penuh harapan pada saat yang sama," ungkapnya.
Baca Juga: Militer Myanmar Unjuk Kekuatan Lewat Parade di Tengah Protes Kudeta
5. Dokter
Thiha Tun, dokter berusia 30 tahun bergabung dengan pekerja medis dan pegawai negeri mendirikan CDM pada 2 Februari lalu.
Di sana, ia mendapat bagian di tim perlindungan medis yang memberikan pertolongan pertama kepada pengunjuk rasa yang tumbang.
"Luka itu bermacam-macam, mulai dari luka memar, luka robek sampai luka tembus. Cedera ini disebabkan oleh pentungan, peluru karet, dan peluru tajam," paparnya.
Thiha mengatakan, situasi saat ini sangat berbahaya dana banyak dari kelompoknya yang melakukan pelarian dan bersembunyi. Dokter dan perawat pun mempelajari teknik perawatan trauma secara online.
Baca Juga: 628 Demonstran Anti-kudeta Militer Myanmar Dibebaskan
"Saya benar-benar tidak ingin negara saya hancur oleh perang. Saya tidak berpikir kita dapat menghindarinya karena junta tidak memberi kita pilihan. Mereka tidak akan mundur untuk melepaskan kekuatan," kata Thiha.
Ia mengaku tidak akan menyerah hingga pemerintah yang sah kembali untuk membentuk negara federal yang demokratis.
Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Eddward-S-Kennedy
Sumber : Kompas TV