> >

Leaderless Protests: Gerakan Protes Tanpa Pemimpin yang Terjadi di Myanmar

Kompas dunia | 10 Maret 2021, 16:29 WIB
Demo Myanmar yang berjalan tanpa pemimpin mengadaptasi taktik baru menghadapi aparat, Selasa (9/3/2021). (Sumber: AP Photo)

NAYPYIDAW, KOMPAS.TV - Sudah hampir sebulan masyarakat Myanmar melakukan demonstrasi menentang kudeta militer. Kekerasan aparat tak membuat protes dan pembangkangan sipil ini surut. Gerakan protes ini malah makin kreatif.

Protes dan pembangkangan sipil ini menarik berbagai kalangan. Mulai pegawai negeri sipil sampai pelajar. Dari biksu Buddha sampai warga Muslim. Jangan lupa pula biarawan/biarawati Katolik, tenaga kesehatan serta etnis minoritas.

Warga sipil tumpah ruah memadati jalanan menentang militer. Pengamat menyebut, pembangkangan sipil ini adalah yang terbesar sejak 1988.

Baca Juga: Demo Anti-Kudeta Memanas, Indonesia Minta Myanmar Hormati Niai Demokrasi

Namun, Richard Horsey yang mengamati pembangkangan sipil ini sejak mula menyadari bahwa gerakan ini tak memiliki pemimpin. Horsey adalah seorang analis politik independen dan telah tinggal selama 25 tahun di Myanmar.

“Ini adalah gerakan tanpa pemimpin. Ini adalah reaksi spontan. Sebagian besar penduduk Myanmar menentang kudeta dan ingin menunjukkannya,”kata Horsey, dikutip dari crisisgroup.org.

Horsey mengakui memang ada aktor politik yang sangat pintar dan terkoneksi. Dan ada pula aktor politik seperti kelompok etnis yang bersenjata. Namun, mereka semua mengikuti massa mayoritas yang tak ingin Myanmar jatuh kembali menjadi negara otoriter.

Pembangkangan ini tak dipimpin partai pemenang pemilu NLD atau pimpinan serikat buruh.

“Banyak kelompok berbeda berkumpul karena ide yang sama, sering kali di ruang obrolan (dunia maya) atau di Facebook,”jelas Horsey.

Banyak gerakan politik di penjuru dunia makin akrab dengan konsep gerakan tanpa pemimpin ini. Dari kelompok fasis Ku Klux Klan sampai kalangan kiri jauh Anarkis menggunakan taktik gerakan semacam ini.

Ku Klux Klan menggunakan taktik phantom cell, yaitu sistem organisasi berbasis sel yang tak mengikat. Sementara, Anarkis mengenal Black Bloc, aksi langsung sekelompok orang dengan pakaian serba hitam dan penutup wajah.

Belum lama ini, protes warga sipil di Hong Kong pada 2019-2020 juga terkenal karena konsep gerakan tanpa pemimpin. Warga mengorganisasi gerakan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Warga Hong Kong menguasai jalanan dengan saling berkirim pesan menggunakan aplikasi pesan terenkripsi Telegram, menyebarkan poster dan spanduk aksi dengan aplikasi Airdrop, mengumpulkan dana dengan situs crowdfunding.

Mereka juga cerdas menciptakan taktik menguasai jalanan, seperti menaklukkan tembakan gas air mata atau selalu bergerak menghindari bentrokan dengan aparat.

Baca Juga: Para Perempuan Pemberani di Demo Myanmar: Tak Peduli Nyawa, Kami Peduli pada Generasi Mendatang

Protes Thailand yang berlangsung sejak Februari 2020 hingga kini juga menggunakan konsep leaderless. Ada belasan organisasi dan kelompok pelajar yang tergabung dalam gerakan ini. Namun, tak ada pimpinan sentral.

Meski begitu, masyarakat Thailand satu suara mendesak reformasi monarki agar tak lagi sewenang-wenang.

Menurut Richard Horsey, pembangkangan sipil di Myanmar memang memiliki kesamaan dengan protes Hong Kong dan Thailand. Namun, ada warna khas budaya Thailand dalam pembangkangan sipil ini: satire.

“Misalnya, orang-orang menghentikan mobil mereka di jalan, berpura-pura mobil mereka rusak, mengangkat kap mesin dan memberi tahu polisi: ‘Saya tidak tahu apa yang terjadi, sejak kudeta, lampu peringatan CDM di mobil saya berkedip dan mobil ini mogok terus!’” tutur Horsey. CDM adalah singkatan dari gerakan pembangkangan sipil di Myanmar.

Berbagai taktik juga digunakan untuk membuat macet jalanan dan menghalangi gerakan polisi yang hendak mencegat demonstran.

Di sisi lain kelompok demonstran perempuan juga menampilkan sindiran yang mengarah pada Dewan Militer Myanmar. Mereka membuat jemuran pakaian dalam di jalanan. Demonstran lalu memasang foto Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin Junta Myanmar di jemuran itu bersama pakaian dalam lain.

“Apa yang sebenarnya dilakukan kudeta ini adalah menyatukan mayoritas warga Myanmar. Terlepas dari apakah mereka mendukung NLD dalam pemilu atau tidak, hampir semua orang setuju bahwa mereka tidak ingin militer menjalankan pemerintahan,” kata Horsey.

Saat ini, Horsey mengatakan negara lain tak bisa berbuat banyak. Sanksi negara lain tetap perlu sebagai simbol solidaritas. Namun, sanksi ini tak bisa melumpuhkan junta militer Myanmar.

Faktor penting dalam protes adalah warga sipil Myanmar sendiri, terutama para pegawai negeri yang mogok kerja.

Baca Juga: PNS Ikut Mogok Massal, Junta Militer Myanmar Terancam Lumpuh

“Itulah yang mulai melumpuhkan negara. Ini melumpuhkan sistem perbankan, bahkan bank swasta; itu melumpuhkan pelabuhan, transportasi, semua yang Anda butuhkan untuk menjalankan sebuah negara,” kata Horsey.

Bagi Horsey, hal terpenting yang bisa negara lain lakukan adalah mendengarkan suara rakyat Myanmar.

“Penting untuk mendengarkan suara rakyat (seperti dalam krisis apapun, ada banyak pandangan berbeda di masyarakat), menunjukkan solidaritas, dan mengakui serta mendukung sikap rakyat Myanmar saat ini,” tegas Horsey.

Penulis : Ahmad-Zuhad

Sumber : Kompas TV


TERBARU