Leaderless Protests: Gerakan Protes Tanpa Pemimpin yang Terjadi di Myanmar
Kompas dunia | 10 Maret 2021, 16:29 WIBMereka juga cerdas menciptakan taktik menguasai jalanan, seperti menaklukkan tembakan gas air mata atau selalu bergerak menghindari bentrokan dengan aparat.
Baca Juga: Para Perempuan Pemberani di Demo Myanmar: Tak Peduli Nyawa, Kami Peduli pada Generasi Mendatang
Protes Thailand yang berlangsung sejak Februari 2020 hingga kini juga menggunakan konsep leaderless. Ada belasan organisasi dan kelompok pelajar yang tergabung dalam gerakan ini. Namun, tak ada pimpinan sentral.
Meski begitu, masyarakat Thailand satu suara mendesak reformasi monarki agar tak lagi sewenang-wenang.
Menurut Richard Horsey, pembangkangan sipil di Myanmar memang memiliki kesamaan dengan protes Hong Kong dan Thailand. Namun, ada warna khas budaya Thailand dalam pembangkangan sipil ini: satire.
“Misalnya, orang-orang menghentikan mobil mereka di jalan, berpura-pura mobil mereka rusak, mengangkat kap mesin dan memberi tahu polisi: ‘Saya tidak tahu apa yang terjadi, sejak kudeta, lampu peringatan CDM di mobil saya berkedip dan mobil ini mogok terus!’” tutur Horsey. CDM adalah singkatan dari gerakan pembangkangan sipil di Myanmar.
Berbagai taktik juga digunakan untuk membuat macet jalanan dan menghalangi gerakan polisi yang hendak mencegat demonstran.
Di sisi lain kelompok demonstran perempuan juga menampilkan sindiran yang mengarah pada Dewan Militer Myanmar. Mereka membuat jemuran pakaian dalam di jalanan. Demonstran lalu memasang foto Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin Junta Myanmar di jemuran itu bersama pakaian dalam lain.
“Apa yang sebenarnya dilakukan kudeta ini adalah menyatukan mayoritas warga Myanmar. Terlepas dari apakah mereka mendukung NLD dalam pemilu atau tidak, hampir semua orang setuju bahwa mereka tidak ingin militer menjalankan pemerintahan,” kata Horsey.
Saat ini, Horsey mengatakan negara lain tak bisa berbuat banyak. Sanksi negara lain tetap perlu sebagai simbol solidaritas. Namun, sanksi ini tak bisa melumpuhkan junta militer Myanmar.
Faktor penting dalam protes adalah warga sipil Myanmar sendiri, terutama para pegawai negeri yang mogok kerja.
Baca Juga: PNS Ikut Mogok Massal, Junta Militer Myanmar Terancam Lumpuh
“Itulah yang mulai melumpuhkan negara. Ini melumpuhkan sistem perbankan, bahkan bank swasta; itu melumpuhkan pelabuhan, transportasi, semua yang Anda butuhkan untuk menjalankan sebuah negara,” kata Horsey.
Bagi Horsey, hal terpenting yang bisa negara lain lakukan adalah mendengarkan suara rakyat Myanmar.
Penulis : Ahmad-Zuhad
Sumber : Kompas TV