> >

Lambatnya Vaksinasi Covid-19 Dunia Terganjal Polemik Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Kompas dunia | 2 Maret 2021, 07:30 WIB
Produksi vaksin Covid-19 di pabrik Incepta di Dhaka, Bangladesh, Sabtu (13/2). (Sumber: AP Photo / Al-emrun Garjon)

DHAKA, KOMPAS.TV – Di kawasan industri di pinggiran kota terbesar di Bangladesh, sebuah pabrik baru berdiri, lengkap dengan peralatan modern mengkilap yang diimpor langsung dari Jerman, lorong-lorongnya yang rapi dilapisi kamar-kamar yang tertutup rapat. Sayang, pabrik itu hanya beroperasi dengan seperempat kapasitas.

Pabrik tersebut merupakan satu dari 3 pabrik serupa yang ditemukan Associated Press di 3 benua berbeda. Para pemilik pabrik mengatakan, mereka bisa saja mulai memperoduksi ratusan juta vaksin Covid-19 dalam tempo singkat, seandainya mereka memiliki cetak biru dan petunjuk teknis pelaksanaannya. Sayangnya, pengetahuan itu milik para perusahaan farmasi besar yang telah memproduksi tiga vaksin pertama yang disetujui oleh negara-negara termasuk Inggris, Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS): Pfizer, Moderna dan AstraZeneca. Pabrik-pabrik yang tidak beroperasi penuh itu masih menunggu respon dari tiga perusahaan farmasi raksasa tersebut.

Terganjal HAKI, Produksi Vaksin Jadi Lambat

Seluruh Afrika dan Asia Tenggara, pemerintahan negara-negara dan kelompok-kelompok pemberi bantuan, juga Badan Kesehatan Dunia WHO, semua menyerukan pada para perusahaan farmasi untuk membagi informasi paten mereka lebih luas. Tujuannya apalagi kalau bukan demi memenuhi kekurangan pasokan vaksin dalam pandemi yang telah merenggut lebih dari 2,5 juta jiwa di seluruh dunia itu.

Perusahaan-perusahaan farmasi yang menggunakan dana dari para pembayar pajak di AS atau Eropa untuk mengembangkan vaksin dengan cepat menyatakan, mereka tengah menegosiasikan kontrak dan kesepakatan lisensi ekslusif dengan para produsen berdasarkan kasus-per-kasus. Ini lantaran mereka perlu melindungi hak kekayaan intelektual (HAKI) mereka dan memastikan keamanan produksi vaksin.

Namun, sejumlah kritik menilai bahwa pendekatan ini terlalu lambat untuk kepentingan menyetop penyebaran virus yang mendesak sebelum virus bermutasi ke bentuk yang lebih mematikan. WHO meminta para pembuat vaksin untuk membagi pengetahuan mereka untuk mengejar ketertinggalan pasokan vaksin dunia.

“Jika itu bisa dilakukan, maka segera dalam semalam, tiap benua akan memiliki lusinan perusahaan yang dapat memproduksi vaksin-vaksin ini,” kata Abdul Muktadir, yang pabrik Incepta-nya di Bangladesh telah memproduksi vaksin hepatitis, flu, meningitis, rabies, tetanus dan campak.

Pasokan Vaksin Dunia Jauh Tertinggal Dari Tingginya Permintaan

Di seluruh dunia, pasokan vaksin Covid-19 terbilang jauh dari permintaan yang tinggi, dan jumlah terbatas yang ada mengalir ke negara-negara kaya. Sejauh ini, menurut WHO, hampir 80% vaksin telah digunakan di hanya 10 negara. Lebih dari 210 negara dan kawasan dengan populasi 2,5 milyar orang belum menerima vaksin satu pun terhitung pada pekan lalu.

Baca Juga: Polemik Vaksin Covid-19: Senjangnya Ketersediaan Vaksin Antara Negara Kaya dan Negara Miskin

Pendekatan kasus-per-kasus ini juga berarti bahwa negara-negara miskin membayar lebih banyak untuk vaksin yang sama daripada negara-negara kaya. Menurut studi dan dokumen publik yang ada, Afrika Selatan, Meksiko, Brasil dan Uganda, semua membayar harga berbeda untuk 1 dosis vaksin AstraZeneca dan lebih mahal ketimbang pemerintahan negara-negara di Uni Eropa. AstraZeneca berkilah, harga vaksin akan berbeda, bergantung pada ongkos produksi lokal dan jumlah pemesanan dari negara pemesan.

“Apa yang kita lihat hari ini adalah pendekatan bahwa yang paling kuat yang akan menang. Mereka yang memiliki kantong lebih dalam, dengan sikutan paling tajam yang akan merebut apa yang ada dan membiarkan yang lain mati,” sindir Winnie Byanyima, direktur eksekutif UNAIDS.

Di Afrika Selatan, yang menjadi lokasi varian baru Covid-19 yang paling mengkhawatirkan, pabrik Biovac telah mengatakan selama berminggu-minggu bahwa mereka tengah dalam negosiasi dengan pabrikan tertentu tanpa bukti kontrak untuk ditunjukkan. Dan di Denmark, pabrik Bavarian Nordic memiliki kapasitas cadangan dan kemampuan untuk memproduksi lebih dari 200 juta dosis, tapi juga masih menanti kabar dari produsen vaksin virus corona berlisensi.

Solusi Yang Ditentang Para Pembuat Vaksin

Pemerintahan sejumlah negara dan para ahli kesehatan menawarkan 2 solusi potensial untuk mengatasi kekuarangan pasokan vaksin ini:

1) Dewan pengumpul hak paten meniru program yang disiapkan untuk menangani HIV, tuberkulosis dan hepatitis untuk berbagi teknologi, HAKI dan data secara sukarela. Tapi, tak ada perusahaan yang menawarkan membagikan data mereka pada solusi yang didukung WHO ini.  

2) Proposal untuk menangguhkan HAKI selama pandemi berlangsung. AS dan Eropa – asal perusahaan farmasi yang bertanggung jawab menciptakan vaksin virus corona – telah memblokir opsi ini dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Opsi ini didukung oleh setidaknya 119 negara dan Uni Afrika, tapi ditentang keras oleh para pembuat vaksin.

Baca Juga: Menlu RI Terpilih Pimpin Kerja Sama Vaksin Covax-AMG EG

Perusahaan farmasi mengatakan, alih-alih mencabut HAKI, seharusnya negara-negara kaya memberikan lebih banyak vaksin ke negara-negara miskin melalui Covax, program inisiatif WHO untuk distribusi vaksin yang lebih adil. Pekan lalu, WHO dan para mitranya membagikan dosis pertama mereka dalam jumlah yang sangat terbatas.

Pola Industri Farmasi: Raup Keuntungan Besar Seusai Gelontorkan Dana Pengembangan Vaksin

Namun, negara-negara kaya tak mau memberikan apa yang mereka punya. Ursula Von der Leyen, kepala Komisi Eropa, telah menggunakan frasa “kebaikan bersama dunia” untuk menggambarkan pendistribusian vaksin bagi dunia. Namun, Uni Eropa memberlakukan kontrol ekspor terhadap vaksin, hingga negara-negara tersebut memiliki kekuatan untuk menghentikan vaksin keluar dari negara mereka.

Baca Juga: Awal Dari Pengiriman Vaksin Terbesar Dalam Sejarah: Ghana Terima Vaksin Dari COVAX

Di hari pertamanya sebagai direktur umum WTO, Ngozi Okonjo-Iweala dari Nigeria mengatakan, sudah tiba waktunya untuk mengalihkan perhatian pada kebutuhan vaksin bagi kaum miskin dunia.

“Kita harus fokus bekerja dengan perusahaan-perusahaan untuk membuka dan memberi lisensi pada lokasi-lokasi produksi vaksin yang layak di pasar dan negara berkembang,” ujarnya pada para anggota WTO. “Ini harus segera terwujud agar kita bisa menyelamatkan banyak nyawa.”

Pola yang telah lama berlaku di industri farmasi adalah, perusahaan farmasi menggelontorkan banyak dana dan penelitian dengan imbalan hak meraup keuntungan dari penjualan obat dan vaksin mereka. Pada Mei tahun lalu, CEO Pfizer Albert Bourla menyebut gagasan membagi HAKI secara luas sebagai “omong kosong” dan bahkan “berbahaya”.

Thomas Cueni, direktur umum Federasi Internasional Produsen Farmasi (IFPM), menyebut bahwa gagasan mencabut HAKI merupakan “sinyal yang sangat buruk bagi masa depan. Jika Anda memberi sinyal bahwa Anda mengalami pandemi, maka hak paten Anda tidak akan berarti.”

Baca Juga: Jualan Vaksin Corona, Pfizer Cuan Rp 210 Triliun

Sementara, para pendukung berbagi cetak biru vaksin berpendapat bahwa, tak seperti kebanyakan obat-obatan yang lain, para pembayar pajak telah membayar milyaran untuk mengembangkan vaksin yang dapat membantu mengakhiri keadaan darurat kesehatan masyarakat terbesar dunia.

“Korban meninggal terus berjatuhan karena kita tidak mencapai kata sepakat seputar HAKI,” ujar Mustaqeem De Gama, seorang diplomat Afrika Selatan yang terlibat dalam diskusi WTO.

Paul Fehlner, kepala bidang hukum perusahaan bioteknologi Axcella dan pendukung dewan pengumpul hak paten WHO, mengatakan bahwa pemerintah yang telah menggelontorkan dana milyaran dolar untuk mengembangkan vaksin seharusnya menuntut lebih banyak dari perusahaan yang mereka biayai sejak awal.

“Syarat pengambilan uang wajib pajak adalah dengan tidak memperlakukan mereka sebagai korban penipuan,” tegasnya.

Vaksin Seharusnya Bisa Diakses Merata di Seluruh Dunia

Bulan lalu, Dr, Anthony Fauci, pakar pandemi terkemuka AS, mengatakan, seluruh opsi perlu dipertimbangkan, termasuk meningkatkan kapasitas produksi di negara berkembang dan bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk melonggarkan HAKI mereka.

“Negara-negara kaya, termasuk kita, punya tanggung jawab moral saat kita dilanda pandemi global seperti ini,” kata Fauci. “Kita harus membuat seluruh dunia divaksinasi, bukan hanya negara kita sendiri.”

Sulit untuk mengetahui secara persis berapa banyak vaksin lagi yang bisa diproduksi secara global jika pembatasan HAKI dicabut. Namun Suhaib Siddiqi, mantan direktur kimia di Moderna, mengatakan, dengan cetak biru dan saran teknis, sebuah pabrik modern seharusnya bisa memproduksi vaksin paling lama 3 – 4 bulan.

“Menurut pendapat saya, vaksin itu milik umum,” ujar Sidiqqi. “Perusahaan manapun yang punya pengalaman menyatukan molekul seharusnya bisa melakukannya.”

Sejumlah personil produksi tengah memeriksa botol-botol berisi vaksin Covid-19 di pabrik Incepta di Dhaka, Bangladesh, Sabtu (13/2). (Sumber: AP Photo / Al-emrun Garjon)

Kembali ke Bangladesh. Pabrik Incepta berupaya memperoleh yang ia butuhkan untuk memproduksi lebih banyak vaksin dengan 2 cara: menawarkan jalur produksinya ke Moderna dan dengan menjangkau mitra WHO.

Moderna tidak memberikan komentar tentang pabrik Bangladesh itu, namun CEOnya, Stephane Bancel, menyatakan pada para anggota parlemen Eropa bahwa para insinyur perusahaan sepenuhnya sibuk memperluas produksi di Eropa.

Baca Juga: Jual Saham Moderna, Produsen Vaksin AstraZeneca Cuan Rp 14 T

“Melakukan lebih banyak alih teknologi saat ini benar-benar dapat menempatkan produksi dan peningkatan produksi untuk bulan-bulan mendatang dalam risiko besar,” ujarnya. “Kami sangat terbuka untuk melakukan itu di masa mendatang jika pabrik-pabrik kami saat ini sudah berjalan.”

Muktadir sang pemilik pabrik Incepta di Bangladesh mengatakan, ia sangat mengapresiasi pencapaian ilmiah luar biasa atas pembuatan vaksin tahun ini. Ia juga ingin agar seluruh dunia bisa berbagi, dan bersedia membayar dengan harga pantas.

“Tak ada yang boleh memberikan harta milik mereka secara cuma-cuma,” pungkasnya. “Vaksin bisa dibuat bagi setiap orang – vaksin yang berkualitas tinggi dan efektif.”

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU