Lambatnya Vaksinasi Covid-19 Dunia Terganjal Polemik Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Kompas dunia | 2 Maret 2021, 07:30 WIBNamun, negara-negara kaya tak mau memberikan apa yang mereka punya. Ursula Von der Leyen, kepala Komisi Eropa, telah menggunakan frasa “kebaikan bersama dunia” untuk menggambarkan pendistribusian vaksin bagi dunia. Namun, Uni Eropa memberlakukan kontrol ekspor terhadap vaksin, hingga negara-negara tersebut memiliki kekuatan untuk menghentikan vaksin keluar dari negara mereka.
Baca Juga: Awal Dari Pengiriman Vaksin Terbesar Dalam Sejarah: Ghana Terima Vaksin Dari COVAX
Di hari pertamanya sebagai direktur umum WTO, Ngozi Okonjo-Iweala dari Nigeria mengatakan, sudah tiba waktunya untuk mengalihkan perhatian pada kebutuhan vaksin bagi kaum miskin dunia.
“Kita harus fokus bekerja dengan perusahaan-perusahaan untuk membuka dan memberi lisensi pada lokasi-lokasi produksi vaksin yang layak di pasar dan negara berkembang,” ujarnya pada para anggota WTO. “Ini harus segera terwujud agar kita bisa menyelamatkan banyak nyawa.”
Pola yang telah lama berlaku di industri farmasi adalah, perusahaan farmasi menggelontorkan banyak dana dan penelitian dengan imbalan hak meraup keuntungan dari penjualan obat dan vaksin mereka. Pada Mei tahun lalu, CEO Pfizer Albert Bourla menyebut gagasan membagi HAKI secara luas sebagai “omong kosong” dan bahkan “berbahaya”.
Thomas Cueni, direktur umum Federasi Internasional Produsen Farmasi (IFPM), menyebut bahwa gagasan mencabut HAKI merupakan “sinyal yang sangat buruk bagi masa depan. Jika Anda memberi sinyal bahwa Anda mengalami pandemi, maka hak paten Anda tidak akan berarti.”
Baca Juga: Jualan Vaksin Corona, Pfizer Cuan Rp 210 Triliun
Sementara, para pendukung berbagi cetak biru vaksin berpendapat bahwa, tak seperti kebanyakan obat-obatan yang lain, para pembayar pajak telah membayar milyaran untuk mengembangkan vaksin yang dapat membantu mengakhiri keadaan darurat kesehatan masyarakat terbesar dunia.
“Korban meninggal terus berjatuhan karena kita tidak mencapai kata sepakat seputar HAKI,” ujar Mustaqeem De Gama, seorang diplomat Afrika Selatan yang terlibat dalam diskusi WTO.
Paul Fehlner, kepala bidang hukum perusahaan bioteknologi Axcella dan pendukung dewan pengumpul hak paten WHO, mengatakan bahwa pemerintah yang telah menggelontorkan dana milyaran dolar untuk mengembangkan vaksin seharusnya menuntut lebih banyak dari perusahaan yang mereka biayai sejak awal.
“Syarat pengambilan uang wajib pajak adalah dengan tidak memperlakukan mereka sebagai korban penipuan,” tegasnya.
Vaksin Seharusnya Bisa Diakses Merata di Seluruh Dunia
Bulan lalu, Dr, Anthony Fauci, pakar pandemi terkemuka AS, mengatakan, seluruh opsi perlu dipertimbangkan, termasuk meningkatkan kapasitas produksi di negara berkembang dan bekerja sama dengan perusahaan farmasi untuk melonggarkan HAKI mereka.
“Negara-negara kaya, termasuk kita, punya tanggung jawab moral saat kita dilanda pandemi global seperti ini,” kata Fauci. “Kita harus membuat seluruh dunia divaksinasi, bukan hanya negara kita sendiri.”
Sulit untuk mengetahui secara persis berapa banyak vaksin lagi yang bisa diproduksi secara global jika pembatasan HAKI dicabut. Namun Suhaib Siddiqi, mantan direktur kimia di Moderna, mengatakan, dengan cetak biru dan saran teknis, sebuah pabrik modern seharusnya bisa memproduksi vaksin paling lama 3 – 4 bulan.
“Menurut pendapat saya, vaksin itu milik umum,” ujar Sidiqqi. “Perusahaan manapun yang punya pengalaman menyatukan molekul seharusnya bisa melakukannya.”
Kembali ke Bangladesh. Pabrik Incepta berupaya memperoleh yang ia butuhkan untuk memproduksi lebih banyak vaksin dengan 2 cara: menawarkan jalur produksinya ke Moderna dan dengan menjangkau mitra WHO.
Moderna tidak memberikan komentar tentang pabrik Bangladesh itu, namun CEOnya, Stephane Bancel, menyatakan pada para anggota parlemen Eropa bahwa para insinyur perusahaan sepenuhnya sibuk memperluas produksi di Eropa.
Baca Juga: Jual Saham Moderna, Produsen Vaksin AstraZeneca Cuan Rp 14 T
“Melakukan lebih banyak alih teknologi saat ini benar-benar dapat menempatkan produksi dan peningkatan produksi untuk bulan-bulan mendatang dalam risiko besar,” ujarnya. “Kami sangat terbuka untuk melakukan itu di masa mendatang jika pabrik-pabrik kami saat ini sudah berjalan.”
Muktadir sang pemilik pabrik Incepta di Bangladesh mengatakan, ia sangat mengapresiasi pencapaian ilmiah luar biasa atas pembuatan vaksin tahun ini. Ia juga ingin agar seluruh dunia bisa berbagi, dan bersedia membayar dengan harga pantas.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV