Prancis Ajukan RUU Anti Radikalisme yang Bikin Khawatir Kaum Muslim
Kompas dunia | 16 Februari 2021, 23:46 WIBPARIS, KOMPAS.TV – Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan memperkuat masjid, sekolah dan klub olahraga untuk membersihkan Prancis dari kelompok Islam radikal, ditentang oleh para pembuat kebijakan di Prancis, Selasa (16/2). RUU itu juga hendak memastikan nilai-nilai Prancis dihormati, salah satu proyek yang digaungkan Presiden Prancis Emmanuel Macron.
RUU yang meliputi sebagian besar aspek kehidupan Prancis ini telah diperdebatkan dengan sengit oleh sejumlah kalangan muslim, para pembuat kebijakan dan pihak lain yang khawatir negara akan mengganggu kebebasan beragama warga dan mengkambinghitamkan Islam, agama nomor 2 di negara itu. RUU itu juga disebut akan membuat setiap kaum muslim rentan menjadi tersangka potensial radikalisme Islam.
Namun, seperti dilansir dari Associated Press, RUU ini diprediksi akan disahkan di DPR yang mayoritas kursinya diduduki partai Macron.
Pengesahan RUU ini kian mendesak setelah insiden pemenggalan seorang guru pada Oktober silam, menyusul serangan mematikan di sebuah gereja di Nice. Salah satu pasal dalam RUU tersebut membahas pemenggalan kejam Samuel Paty di luar sekolah tempatnya mengajar di barat kota Paris, dan pelaku akan dihukum setidaknya 5 tahun penjara. Pasal itu juga menyebut, siapapun yang mengancam atau mengintimidasi pegawai neger yang tengah menjalankan tugasnya akan dikenai denda yang berat.
RUU tersebut merupakan upaya lain Prancis melawan ekstrimisme, terutama berbasis keamanan.
Baca Juga: Beri Dukungan untuk Korban Pelecehan Seksual Anak, Macron Kirimkan Pesan Menyentuh
Para penentang RUU tersebut menyatakan, langkah-langkah yang ada dalam RUU sudah ada dalam hukum yang ada sekarang. Sejumlah pihak justru menyuarakan kecurigaan bahwa RUU tersebut memiliki agenda tersembunyi dari pemerintah yang hendak menjaring para pemilih sayap kanan pada pemilu presiden (pilpres) tahun depan. Beberapa hari sebelum pengesahan RUU pada hari Selasa, Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin yang mendukung penuh RUU tersebut, berdebat dalam siaran televisi nasional dengan pemimpin sayap kanan Marine Le Pen. Dalam debat tersebut, Darmanin menyebut Le Pen telah melunak terhadap Islam radikal dan perlu mengonsumsi vitamin. Le Pen, yang telah mengumumkan pencalonannya pada pilpres 2022, kalah melawan Macron pada pilpres 2017 lalu.
RUU ini didukung oleh sejumlah pihak yang melihat perlunya menahan diri atas apa yang disebut oleh pemerintah sebagai fundamentalisme yang mengganggu nilai-nilai Prancis, terutama nilai dasar sekularisme dan kesetaraan gender.
Baca Juga: Macron Kecewa Polisi Kerap Diskriminasi Warga Kulit Berwarna, Prancis Siapkan Alat Pantau
RUU yang mendukung penghormatan terhadap prinsip-prinsip Republik Prancis ini dijuluki ‘RUU Separatisme’, istilah yang oleh Macron digunakan untuk mengacu pada para ekstrimis yang hendak menciptakan ‘masyarakat tandingan’ di Prancis.
Perwakilan para pemimpin tertinggi agama sudah dilibatkan dalam konsultasi saat teks RUU ditulis. Wakil Muslim pemerintah dan Dewan Muslim Prancis telah menyatakan dukungan terhadap RUU ini.
Ghaleb Bencheikh, kepala Yayasan untuk Islam Prancis, badan Islam progresif, menyatakan dalam sebuah wawancara baru-baru ini, “RUU ini tidak adil, tapi diperlukan untuk melawan radikalisme.”
RUU berisi 51 pasal ini juga akan melarang sertifikat keperawanan dan akan menindak tegas praktek poligami dan perkawinan paksa, praktek yang tidak terikat agama secara sah. Menurut para penentang RUU, hal-hal ini sudah ada dalam hukum yang ada di Prancis sekarang.
Baca Juga: Macron Disamakan dengan Nazi atas Perlakuannya ke Umat Muslim, Prancis Meradang
RUU ini juga hendak memastikan bahwa anak-anak masuk sekolah reguler sejak usia 3 tahun, salah satu jalan untuk menyasar sekolah di rumah, tempat ideologi diajarkan. Selain itu, RUU ini juga memastikan netralitas dalam transportasi publik, termasuk bagi perusahaan swasta yang bekerja untuk negara dan seluruh pegawai publik dilatih dalam sekularisme.
RUU ini juga memperkenalkan mekanisme untuk menjamin bahwa majid dan asosiasi yang menjalankannya tidak berada di bawah pengaruh asing atau faham Salafi lokal yang menerjemahkan Islam secara ketat.
Untuk mengakomodasi perubahan, RUU tersebut menyesuaikan hukum Prancis 1905 yang menjamin pemisahan gereja dan negara.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV