Kudeta Myanmar: Tenaga Kesehatan, Biksu, Suku Minoritas, Bergabung Unjuk Rasa Menentang Militer
Kompas dunia | 8 Februari 2021, 17:34 WIBYANGON, KOMPAS.TV - Unjuk rasa makin besar menentang kudeta, seperti kaum biksu, tenaga kesehatan, dan suku minoritas yang biasanya menentang pemerintahan Aung San Suu Kyi ikut turun ke jalan secara besar-besaran, seperti dilansir Reuters, Senin (08/02/2021).
Seruan protes dan dukungan bagi pembangkangan sosial makin besar serta makin terorganisir sejak kudeta yang terjadi 1 Februari lalu.
Tenaga kesehatan dan petugas medis rumah sakit mulai bergabung di jalan dalam unjuk rasa menentang pengambilalihan kekuasaan oleh militer.
"Kami tenaga kesehatan juga memimpin unjuk rasa ini dan kami ajak seluruh pegawai pemerintah untuk ikut bergabung," tutur Aye Misan, seorang perawat di sebuah rumah sakit pemerintah di Yangon, Senin, (08/02/2021)
Dia menambahkan, "Pesan kami kepada rakyat adalah, kami ingin menghapus secara menyeluruh rejim militer ini dan kita harus berjuang untuk takdir kita sendiri,"
Baca Juga: Pengunjuk Rasa Penentang Kudeta Myanmar Dihadang Polisi dengan Meriam Air
Tidak hanya di Yangon, namun unjuk rasa meluas ke Mandalay dan kini di kota Dawei. Ribuan orang kini berunjuk rasa di kota Dawei, ibukota negara bagian Kachin di Utara Myanmar, menentang pengambilalihan oleh militer dan menolak pemerintahan militer.
Unjuk rasa di negara bagian Kachin ini bahkan merefleksikan penolakan menyeluruh dari suku-suku di Myanmar, bahkan dari suku-suku yang selama ini berseberangan dan menentang secara terbuka pemerintahan Aung San Suu Kyi karena dituduh tidak memperhatikan suku minoritas.
Di Yangon, biksu buddha mulai turun tangan dan berunjuk rasa di jalan-jalan bergabung bersama pekerja, murid sekolah, ibu-ibu dan mahasiswa. Mereka mengibarkan bendera kaum biksu yang berwarna-warni berdampingan dengan bendera partai Liga Nasional Untuk Demokrasi yang menang telak dalam pemilu November lalu.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Paus Fransiskus Doakan dan Ungkap Solidaritasnya untuk Rakyat Myanmar
"Bebaskan Pemimpin Kami, Hormati Suara Kami, Tolak Kudeta Militer," tertulis di spanduk mereka. Spanduk lain bertuliskan "selamatkan demokrasi" dan "Katakan Tidak Pada Kediktatoran,"
Di Naypyidaw, polisi menembakkan kanon air ke massa pengunjuk rasa yang meneriakkan slogan-slogan mengecam kudeta militer, seperti dilansir Associated Press, Senin (08/02/2021)
Unjuk rasa di Naypyidaw sudah terjadi beberapa hari dan dipandang sangat tidak biasa karena kota tersebut sebagian besar dihuni hanya oleh pegawai pemerintah dan keluarga mereka.
Kota Naypyidaw dibangun khusus oleh pemerintahan militer sebelumnya, memiliki banyak basis militer dan tidak punya tradisi unjuk rasa seperti Yangon, bekas ibukota negara itu.
Baca Juga: Kudeta Myanmar Membuat Perusahaan Bir Jepang Akhiri Kerja Sama
Protes akhir minggu adalah yang terbesar sejak "revolusi saffron" tahun 2007 dan terjadi di seluruh negeri, termasuk hari ini di negara-negara bagian yang biasanya menentang pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Unjuk rasa sejauh ini terlihat damai dan tenang, belum terjadi pemberantasan pengunjuk rasa seperti peristiwa terdahulu di tahun 1988 dan 2007.
Walau begitu, sebuah konvoi panjang militer berisi serdadu tiba di Myanmar hari Minggu malam, membuat kuatir pemberangusan berdarah oleh militer bisa kembali terjadi.
Media, termasuk Reuters, belum bisa memperoleh keterangan dari junta militer tentang unjuk rasa besar-besaran di seluruh Myanmar, dan media pemerintah tidak ada satupun yang melaporkan terjadinya unjuk rasa.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Unjuk Rasa Makin Besar di Seluruh Myanmar Menyusul Sambungan Internet Dipulihkan
Seruan Mogok Nasional
Terdapat perkembangan perlawanan yang mungkin akan membuat kuatir pemerintahan militer, yaitu semakin banyak pegawai negeri yang bergabung bersama dokter dan tenaga kesehatan serta kaum guru yang bergabung ke unjuk rasa dan melakukan pembangkanan sosial serta mogok kerja.
"Kami minta seluruh pegawai pemerintah di seluruh kementerian untuk tidak masuk kerja mulai hari Senin (08/02/2021)," kata Min Ko Naing, seorang aktivis veteran unjuk rasa tahun 1998 yang menaikkan pamor Aung San Suu Kyi.
Baca Juga: Utusan PBB Temui Militer Myanmar, Kutuk Kudeta yang Terjadi
Pemerintah militer memulihkan sambungan internet hari Minggu, karena pemblokiran sambungan internet ternyata makin membuat marah masyarakat yang sangat kuatir mereka kembali ke isolasi dan kemiskinan parah sebelum terjadinya transisi ke demokrasi tahun 2011.
"Semua orang menggunakan sosial media dan kami meniru apa yang kami lihat," kata Paing Soe Win, 26 tahun, saat berunjuk rasa di Yangon dimana pengunjuk rasa memberikan salam tiga jari, simbol perlawanan yang diadopsi dari film hollywood "Hunger Games" dan diikuti di seluruh Myanmar.
"Kaum muda sama sekali tidak takut karena kami sudah melihat unjuk rasa di Hong Kong dan Thailand dari media sosial. Kami juga sudah akrab dengan itu, jadi ini bukanlah hal baru," tutur Soe Win.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV