Kudeta Myanmar: Tenaga Kesehatan, Biksu, Suku Minoritas, Bergabung Unjuk Rasa Menentang Militer
Kompas dunia | 8 Februari 2021, 17:34 WIBKota Naypyidaw dibangun khusus oleh pemerintahan militer sebelumnya, memiliki banyak basis militer dan tidak punya tradisi unjuk rasa seperti Yangon, bekas ibukota negara itu.
Baca Juga: Kudeta Myanmar Membuat Perusahaan Bir Jepang Akhiri Kerja Sama
Protes akhir minggu adalah yang terbesar sejak "revolusi saffron" tahun 2007 dan terjadi di seluruh negeri, termasuk hari ini di negara-negara bagian yang biasanya menentang pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Unjuk rasa sejauh ini terlihat damai dan tenang, belum terjadi pemberantasan pengunjuk rasa seperti peristiwa terdahulu di tahun 1988 dan 2007.
Walau begitu, sebuah konvoi panjang militer berisi serdadu tiba di Myanmar hari Minggu malam, membuat kuatir pemberangusan berdarah oleh militer bisa kembali terjadi.
Media, termasuk Reuters, belum bisa memperoleh keterangan dari junta militer tentang unjuk rasa besar-besaran di seluruh Myanmar, dan media pemerintah tidak ada satupun yang melaporkan terjadinya unjuk rasa.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Unjuk Rasa Makin Besar di Seluruh Myanmar Menyusul Sambungan Internet Dipulihkan
Seruan Mogok Nasional
Terdapat perkembangan perlawanan yang mungkin akan membuat kuatir pemerintahan militer, yaitu semakin banyak pegawai negeri yang bergabung bersama dokter dan tenaga kesehatan serta kaum guru yang bergabung ke unjuk rasa dan melakukan pembangkanan sosial serta mogok kerja.
"Kami minta seluruh pegawai pemerintah di seluruh kementerian untuk tidak masuk kerja mulai hari Senin (08/02/2021)," kata Min Ko Naing, seorang aktivis veteran unjuk rasa tahun 1998 yang menaikkan pamor Aung San Suu Kyi.
Baca Juga: Utusan PBB Temui Militer Myanmar, Kutuk Kudeta yang Terjadi
Pemerintah militer memulihkan sambungan internet hari Minggu, karena pemblokiran sambungan internet ternyata makin membuat marah masyarakat yang sangat kuatir mereka kembali ke isolasi dan kemiskinan parah sebelum terjadinya transisi ke demokrasi tahun 2011.
"Semua orang menggunakan sosial media dan kami meniru apa yang kami lihat," kata Paing Soe Win, 26 tahun, saat berunjuk rasa di Yangon dimana pengunjuk rasa memberikan salam tiga jari, simbol perlawanan yang diadopsi dari film hollywood "Hunger Games" dan diikuti di seluruh Myanmar.
"Kaum muda sama sekali tidak takut karena kami sudah melihat unjuk rasa di Hong Kong dan Thailand dari media sosial. Kami juga sudah akrab dengan itu, jadi ini bukanlah hal baru," tutur Soe Win.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV