> >

Pernah Kunjungi Pengungsi Rohingya, Fadli Zon Khawatir Kudeta di Myanmar

Kompas dunia | 3 Februari 2021, 06:00 WIB
Pengungsi Rohingya di kapal angkatan laut ke pulau Bhasan Char di Teluk Bengal, Bangladesh, Selasa, 29 Desember 2020. Kantor Perdana Menteri menyatakan pengungsi Rohingya pindah secara sukarela di bawah manajemen pemerintah. (Sumber: AP Photo)

JAKARTA, KOMPAS.TV-  Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Fadli Zon mengaku pernah berkunjung ke kamp pengungsi etnis Rohingya di Cox Bazaar. "Pada akhir 2017, saya telah melihat langsung kamp pengungsian di Cox Bazaar, perbatasan Bangladesh, yang dihuni ratusan ribu warga Rohingya. Mereka adalah korban yang selamat dari penyiksaan dan penindasan militer Myanmar," katanya, Selasa (2/2/2021).

Karena kasus tersebut, politisi Partai Gerindra ini pernah bertemu  langsung  dengan mantan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan di Jenewa, yang menginisiasi investigasi melalui Annan Report. "Annan sangat prihatin atas dominasi militer dalam formasi pemerintahan sipil Myanmar," ungkap Fadli.

Baca Juga: AS Minta Militer Myanmar Hormati Hukum dan Suara Rakyat


Nah, ditambah kondisi politik saat ini, Fadli Zon juga mencemaskan krisis politik di Myanmar tersebut akan menghambat penyelesaian tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya.

Sebagai catatan, sejak 2017 silam ratusan ribu etnis Rohingya terusir dan telah mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia, karena tindakan keras militer Myanmar. "Tindakan militer Myanmar ini jelas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara brutal," tambahnya.

Bahkan, di era kepemimpinan sipil saja, masalah Rohingya tak bisa diselesaikan dengan baik, karena pemimpin sipilnya takut kepada militer. Sekarang, kata Fadli, dengan kudeta militer dan krisis politik, kasus Rohingya akan semakin diabaikan pemerintah Myanmar. Itu sebabnya pihaknya mendesak agar semua pihak yang terlibat konflik di Myanmar menahan diri.

Baca Juga: Aung San Suu Kyi, Pemberani Lawan Junta Militer Myanmar dan Dihujat karena Muslim Rohingya

"Saya juga mendorong agar ASEAN melakukan tindakan progresif dalam menyikapi persoalan yang terjadi di Myanmar. Menurut saya, ASEAN perlu mendorong terjadinya dialog, dan mungkin juga power sharing antar faksi yang terlibat konflik," tegasnya. 

Sebab, selama ini ASEAN sangat lamban dan tak banyak berfungsi dalam mengatasi persoalan,persoalan semacam itu. ASEAN kelihatan tak berdaya dalam menangani masalah Rohingya apalagi kini ada kudeta.

 
Politisi yang pernah dipercaya menjadi Presiden Organisasi Parlemen Antikorupsi Sedunia (GOPAC) di tahun 2015-2019 ini menegaskan, ASEAN dituntut harus bisa menafsirkan asas non-interference secara lebih progresif.

Sebab, selama ini prinsip tersebut telah membelenggu ASEAN untuk melakukan tindakan berarti, jika ada konflik yang terjadi di negara anggotanya.


"Kita memang harus menghormati kedaulatan negara lain. Namun, asas non-interference seharusnya tak dimaknai bahwa ASEAN bersikap pasif atas situasi di Myanmar. Saya mendorong agar pemerintah Indonesia bisa menginisiasi dialog tersebut. Tentu DPR akan sangat mendukung langkah tersebut sebagai wujud komitmen terhadap demokrasi dan HAM," ujarnya.


 
 

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU