Pameran Kartun "I Luv U Gudbai", Paradoks Kehidupan dan Kepasrahan pada Kenyataan
Seni budaya | 5 Agustus 2023, 11:37 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Delapan kartunis terdiri dari Beng Rahadian, Cahyo Heryunanto, Ika W Burhan, M. Syaifuddin Ifoed, M. Nasir, M. Najib, Supriyanto, dan Thomdean, menampilkan karya-karya mereka dalam pameran di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) yang dibuka pada Kamis malam (3/8/2023) dan akan berakhir pada Sabtu (12/8) depan.
Pameran yang mengambil tema "I Luv U Gudbai" yang diambil dari kalimat bahasa Inggris "I Love You Goodbye", menampilkan paradoks dalam kehidupan sehari-hari. Seperti temanya, antara "Love" dan "Goodbye", dua hal yang bertolak belakang.
Baca Juga: Kompas Gramedia-Astra Tampilkan Pameran Seni Rupa dan Teknologi Digital RE-IDENTIFY
Namun sisi paradoks itulah yang membuat kehidupan jadi seru, penuh humor, menjengkelkan sekaligus misteri.
Thomdean misalnya, menampilkan karya berjudul "Last Selfie" yang menampilkan sekelompok penghuni hutan seperti orangutan, macan, beruang madu, beruk yang ber-selfie atau berswafoto di sebuah lahan yang diberi nama "Titik Nol Nusantara".
Wajah para penghuni hutan itu tampak murung dan masing-masing membawa bungkusan seperti akan meninggalkan kampung halaman.
Sementara seorang mandor tampak terperangah melihat adegan itu. Titik Nol Nusantara merujuk pada calon ibu kota baru Indonesia di Kalimantan Timur, yang disambut gembira oleh sebagian orang.
Namun di sisi lain, menimbulkan ancaman kerusakan lingkungan dan musnahnya ekosistem hutan. Paradoks pembangunan yang selalu beriringan antara membangun dan merusak.
Karya lain yang juga menampilkan sisi paradoks kehidupan adalah karya M. Syaifuddin Ifoed yaitu "Peace Money" alias "Uang Damai".
"Peace Money" menggambarkan seorang ayah yang sedang mengantarkan anaknya ke sekolah tapi di jalan dicegat polisi.
Tak mau terhambat saat mengantar anaknya ke sekolah, si ayah mengeluarkan 'uang damai' sebagai sogokan kepada polisi. Anak sekolah yang mestinya melihat dan mendengar hal-hal jujur, justru melihat pemandangan yang jauh dari kejujuran.
Namun hal ini sering dialami masyarakat hingga saat ini, ketika berurusan dengan aparat dan birokrat. 'Uang damai' pun harus dikeluarkan. Damai tapi pakai uang.
Pada bagian lain, Beng Rahadian menampilkan sisi paradoks Jakarta yang diwakili patung selamat datang.
Patung berbentuk dua manusia yang sedang melambaikan tangan itu, kini berubah bukan lagi menyambut orang-orang yang datang ke ibu kota, tapi "selamat jalan" yang artinya ucapan selamat jalan kepada Jakarta yang tidak akan jadi ibu kota lagi.
Dalam konteks yang lebih luas, pameran ini menampilkan sudut pandang orang Indonesia secara keseluruhan. Meski hidup dalam kondisi yang tidak menyenangkan, tapi tetap merasakan kebahagiaan.
Meski fasilitas umum tidak mencukupi, korupsi jadi pemandangan sehari-hari, kekerasan terus berulang, namun kehidupan terus berjalan dan dinikmati.
Baca Juga: Libur Akhir Pekan ke Pameran Van Gogh Alive, Ini Harga Tiket dan Cara Belinya
Bahkan, sebagian orang mampu menangkapnya sebagai dagelan atau lawakan dalam hidup. Bukankah lawakan itu juga hadir dalam penegakan hukum, kehidupan politik dan sosial kemasyaratakan sehari-hari?
Ada koruptor yang hukumannya dipangkas, ada orang yang bisa berbuat seenaknya di jalan karena punya pangkat dan anak orang kaya, juga ada pemimpin yang memajukan anak-anaknya untuk meraih jabatan.
Sebagian orang jengkel, tapi sebagian lagi memandangnya tak lebih dari lawakan belaka.
Kurator BBJ, M. Hilmi Faiq, dalam pengantar pameran menuliskan, "Ajaibnya kita bertahan hidup hingga hari ini dan bahkan ada yang mengaku berbahagia. Saya curiga jangan-jangan kita ini telah berubah menjadi komunitas masokis: senang tersiksa, biasa berada dalam kekacauan. Tapi bisa juga di antara kita, atau tidak, menjadi sadis: kelompok yang gemar membuat orang lain tersiksa. Ayo ngaku..."
Penulis : Iman Firdaus Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV