> >

Sutradara Quentin Tarantino Sebut Film Mel Gibson Ini Masterpiece Sejati, Lalu Diralat

Film | 4 September 2022, 06:30 WIB
Jaguar Paw, diperankan aktor Rudy Youngblood, dalam salah satu adegan Apocalypto, film epik sejarah besutan sutradara Mel Gibson produksi tahun 2006. (Sumber: Pinterest)

LOS ANGELES, KOMPAS.TV – Mel Gibson bukan sosok asing dalam lanskap sinema kontemporer. Selain jadi aktor laris Hollywood, film-film karya Gibson juga menerima banyak penghargaan. 

Selama bertahun-tahun, Mel Gibson menuai sejumlah penghargaan bergengsi dalam industri film. Mulai sejumlah Piala Oscar untuk Braveheart hingga AACTA Awards, penghargaan bergengsi industri film Australia, untuk Hacksaw Ridge.

Tak kurang, sutradara kondang Quentin Tarantino bahkan sempat menganggap salah satu karya film Mel Gibson sebagai masterpiece alias karya agung sejati, kemudian meralatnya. 

Baca Juga: Setelah 9 Hari Tayang, Film Mencuri Raden Saleh Raih 1 Juta Penonton

Melansir FarOutMagazine akhir Agustus lalu, dalam wawancara Sight & Sound pada 2008, sutradara Quentin Tarantino ditanyai tentang pendapatnya soal sinematografi digital dan para praktisinya.

Sejak lama, sutradara asal Tennessee, Amerika Serikat ini menganggap sinema digital justru merusak masa depan media film. Namun, ia mengungkapkan sejumlah konsesi terkait praktik sinematografi digital.

“Bagi saya, 97 persen (alasan) penggunaan digital adalah kemalasan,” klaim Tarantino, sutradara yang kondang dengan ciri khas kekerasan nan dramatis namun indah dalam film-filmnya itu.

“Mereka mencoba membuat (film) dengan lebih mudah, dan itu memang benar. Tetapi dalam kasus-kasus di mana mereka menciptakan lanskap sinematik baru secara keseluruhan, saya tak bisa kasar tentang ini. Saya harus mengakui, ini menambah kemungkinan lain untuk menceritakan kisah, juga menciptakan gambar,” papar sutradara Pulp Fiction dan Kill Bill Vol 1 dan Vol 2 ini.

Baca Juga: 5 Fakta Film Gadis Kretek, Berawal dari Novel hingga Jadi Series Netlix

Menurut Tarantino, pembuatan film secara digital dapat membuka cara-cara baru dalam mengonsep sinema. Namun, ia bersikukuh, digitalisasi film lebih kerap digunakan sebagai alat kemudahan ketimbang inovasi. Ia bahkan mengkritik sutradara-sutradara terkemuka yang menggunakan sinematografi digital, dan berkeras bahwa hasil akhir film digital tak menarik.

Behind the scene film Apocalypto garapan sutradara Mel Gibson, film epik sejarah tentang pemburu Mesoamerika pada masa keruntuhan peradaban Suku Maya. (Sumber: Pinterest)

Namun, ada sebuah karya film digital yang sempat mengecoh Tarantino saat ia kali pertama menyaksikannya. Film itu adalah Apocalypto, produksi tahun 2006.

Film bersejarah epik karya Mel Gibson itu menceritakan perjalanan seorang pemburu Mesoamerika (Meksiko dan Amerika Tengah) selama keruntuhan peradaban agung Suku Maya, masyarakat pribumi dominan di kawasan Semenanjung Yukatan dan Guatemala saat ini. Film itu sukses baik dari segi kritik maupun komersial, dan bahkan menuai pujian dari sutradara terkemuka macam Martin Scorsese dan Tarantino sendiri.

Baca Juga: Moeldoko Nonton Film “Sayap-Sayap Patah”, Sambil Mengenang Masa Lalu di Timor Timur

Saat itu, Tarantino menyebut Apocalypto sebagai pencapaian sinematik terbaik di tahun itu. Namun, penilaiannya berubah setelah ia menyadari bahwa film itu ternyata dibuat secara digital.

“Saya pikir Apocalypto itu sebuah masterpiece, karya agung. Tetapi kemudian saya tahu bahwa (Mel Gibson) membuatnya secara digital, dan buat saya, hal itu membuat upaya pembuatannya jadi berkurang,” tutur sutradara Inglorious Basterds ini.

“Menggunakan analogi Gunung Everest, (ketika) gunungnya mengecil, maka pencapaian ke puncaknya pun jadi berkurang sedikit,” pungkasnya.

 

 

Penulis : Vyara Lestari Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : faroutmagazine.co.uk


TERBARU