> >

Jumlah Kelas Menengah Turun, Anggota DPR: Kebijakan Otonomi Daerah Kurang Dukung Ekonomi Rakyat

Ekonomi dan bisnis | 19 September 2024, 21:10 WIB
Ilustrasi. Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menilai salah satu penyebab penurunan jumlah warga kelas menengah di Indonesia karena kebijakan otonomi daerah yang kurang mendukung perkembangan ekonomi rakyat. (Sumber: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera mengusulkan agar regulasi disesuaikan dengan kebutuhan tiap daerah di Indonesia. Hal itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah.

Menurut Mardani, salah satu penyebab penurunan jumlah warga kelas menengah di Indonesia karena kebijakan otonomi daerah yang kurang mendukung perkembangan ekonomi rakyat.

"Kita perlu perbaiki regulasi dengan merevisi rencana desain dan tata ruang (RDTR) sesuai dengan kebutuhan tiap daerah atau lebih fleksibel terhadap regulasi tersebut. Agar para investor yang akan masuk bisa lebih mudah dan membantu perkembangan ekonomi rakyat," kata Mardani, Kamis (19/9/2024), dikutip dari laman resmi DPR.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terjadinya penurunan jumlah penduduk kelas menengah secara drastis.

Pada tahun 2019, warga yang masuk dalam kelas menengah masih berkisar di angka 21,45 persen dari total penduduk Indonesia atau sebesar 57,3 juta orang. 

Baca Juga: Daya Beli Kelas Menengah Turun, Pengamat Ingatkan Ekonomi Negara Mudah Kena Krisis

Pada 2024, penduduk kelas menengah jumlahnya tinggal 17,44 persen atau menjadi 47,85 juta orang.

“Sekarang ini untuk usaha rumahan susah karena kawasan residensial. Mestinya dimudahkan agar perputaran uangnya mudah. Rata-rata kota kita terikat aturan. Jadi ini tentang bagaimana tata ruang memudahkan dan lentur agar dari residensial ke komersial bisa mudah,” ujar Mardani. 

Dengan mempermudah revisi RDTR, lanjutnya, hal itu bisa membuat perekonomian masyarakat kelas menengah meningkat.

Ia pun memberi contoh Singapura yang memberikan kemudahan untuk cepat mengadaptasi regulasi untuk para investor berinvestasi di sebuah daerah, dengan konsekuensi mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak. 

Baca Juga: Bahas Daya Tahan Kelas Menengah, Menko PMK: Kaji Lagi Potong Gaji untuk Dana Pensiun

Menurut Mardani, hal ini untuk membantu menggerakkan perekonomian masyarakat sekitar.

"Misalnya di Singapura nih, itu daerah perumahan tapi dia mau jadi komersial, boleh asal bayar aja. Ada rate-nya tapi dan mereka harus bayar pemda untuk menyiapkan lahan parkir, memperbesar ruang, dan sebagainya. Dengan dimudahkan aturan maka perputaran uang itu akan makin banyak," jelas legislator Dapil DKI Jakarta I itu.

Di Indonesia, revisi RDTR hanya bisa dilakukan 5 tahun sekali. Mardani menilai hal ini dapat menyulitkan kemajuan daerah. 

Mengingat perkembangan zaman bergerak cepat dan menyebabkan para investor yang mau masuk ke daerah-daerah seperti perumahan, komersial ataupun industrial, menjadi lebih sulit.

Baca Juga: Kelas Menengah Terjepit 'Kebutuhan' & Jumlahnya Terus Menurun, Rentan Miskin?

"Tapi ada juga daerah yang lebih fleksibel karena pemdanya mau berkolaborasi dan adaptif untuk membuat perekonomian masyarakat bergerak. Kita bisa lihat kawasan BSD dan juga Summarecon Bekasi, maju sekarang karena memang dia dimudahkan karena ada estate management-nya yang atur,” paparnya.

Mardani yang bertugas di Komisi II DPR RI yang membidangi urusan otonomi daerah pun berharap, kepala daerah dan birokrat untuk bekerja betul-betul demi kesejahteraan warganya.

Hal ini penting karena para birokrat di daerah masih banyak yang hanya mengurusi kepentingan masing-masing dan enggan berkolaborasi dengan pihak pengembang demi kemajuan daerahnya.

"Kita tuh inginnya para birokrat kepala daerah mikirnya ke situ (memberikan ruang berusaha). Jadi si para middle class (kelas menengah) itu bisa memanfaatkan lahan itu. Bayangkan kalau warganya bahagia, memiliki kemudahan berusaha dan fasilitas, otomatis dia produktif, nah kalau dia produktif, ekonomi pasti berkembang," tuturnya. 

Baca Juga: Masyarakat Kelas Menengah Berpotensi Jatuh ke Kategori Rentan Miskin | SPECIAL REPORT 21 APRIL 2024

"Penumbuh kota itu dibantu private (swasta), selain APBN dan APBD yang menyediakan biar masyarakat tumbuh berkembang. Tapi yang ada sekarang ini uang negara itu rata-rata untuk project (proyek) saja, yang penting habisin anggaran tapi nggak mikirin perkembangan warganya,” sambungnya.

Selama lima tahun terakhir, sebanyak 9,4 juta orang telah turun kelas, ada yang menjadi kelompok 'menuju kelas menengah’ atau aspiring middle class yang berada di antara kelas menengah dan kelas rentan miskin. 

Kemudian ada kelas menengah yang turun dua level ke bawah menjadi kelompok 'rentan miskin'.

Mardani mengatakan penurunan kelas warga ini merupakan dampak dari berbagai masalah pembangunan negara, termasuk dalam aspek sosial dan ekonomi.

"Intinya kalau ekonomi berkembang, pajaknya naik, pendidikannya berkualitas, kesehatannya berkualitas, jadi kota yang disukai orang. Jadi semua berkesinambungan, maka kita harus selesaikan dari hulu ke hilir," terangnya. 

"Nah syaratnya tadi betul-betul warganya bahagia, nah itu tugasnya pemda untuk buat regulasi yang menunjang kebahagiaan warganya. Maka pemdanya harus berani, tata ruangnya harus diberesin,” tutup Mardani. 

 

Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : KOMPAS TV


TERBARU