> >

Luhut Sebut AS Tak Bisa Tingkatkan Kendaraan Listrik 11 Kali Lipat tanpa Indonesia, Ini Alasannya

Ekonomi dan bisnis | 21 Juni 2024, 01:15 WIB
Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Indonesia punya peran penting dalam kemajuan ekosistem kendaraan listrik di Amerika Serikat. (Sumber: Antara)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, Indonesia punya peran penting dalam kemajuan ekosistem kendaraan listrik di Amerika Serikat. 

Luhut menyebut, AS tidak mungkin dapat mencapai target peningkatan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) sebesar 11 kali lipat pada 2030 tanpa Indonesia.

“Karena Amerika sendiri pun, untuk meningkatkan EV-nya 11 kali sampai tahun 2030, tanpa Indonesia, tidak akan mungkin terjadi,” kata Luhut di Jakarta, seperti dikutil dari Antara, Kamis (20/6/2024). 

“Saya katakan, impossible kalian (Amerika Serikat) bisa meningkatkan (EV) 11 kali dari apa yang ada sekarang tanpa Indonesia. Karena Indonesia mengontrol, mungkin lebih dari 70 persen daripada nikel ore dunia,” tambahnya. 

AS disebut butuh untuk bekerja sama dengan negara lain untuk menambah jumlah mobil listrik, karena teknologi smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang yang dimiliki oleh Amerika Serikat sudah usang. 

Baca Juga: Nilai Ekspornya Menjanjikan, Pemerintah akan Atur Budidaya Kratom yang Efeknya seperti Narkoba

Luhut mengatakan, teknologi smelter AS tertinggal sembilan tahun dari China.

“Terlepas daripada uang, dari segi teknologi, kalian (Amerika Serikat) ketinggalan sembilan tahun, dan ini diakui oleh Tesla,” ucapnya. 

Luhut mengungkap, saat ini Amerika Serikat mulai menerapkan kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) yang akan berpengaruh pada perlakuan diskriminatif yang didapatkan produksi nikel Indonesia di mata dunia.

Meskipun demikian, sebagai negara yang memasok sebagian besar pasokan nikel dunia, Luhut yakin Indonesia memiliki peran penting dalam perkembangan ekosistem EV dunia.

Oleh karena itu, ia berulang kali menegaskan bahwa Indonesia memiliki pendirian dan tidak dapat diatur oleh negara mana pun.

Baca Juga: Peringkat Daya Saing RI Naik 7 Tingkat, Airlangga: Wujud Konkret Upaya Pemerintah

“Kita harus ofensif juga kepada mereka (AS), katakan, 'hei, kita ini bukan negara yang kau bisa atur-atur saja. Kita (Indonesia) juga punya pendirian karena kita harus survive',” tegasnya. 

Indonesia sebagai pemasok nikel menjajaki kerja sama dengan berbagai negara. Kerja sama paling potensial adalah dengan China. 

Saat mengunjungi China beberapa hari lalu, Luhut menyoroti proyek antara Contemporary Brunp Lygend Co Ltd (CBL) dengan Indonesia Battery Corporation (IBC) di Buli, Maluku Utara.

"Saya harap NDRC (National Development and Reform Commission China) dapat mendukung kerja sama antara CBL dan IBC untuk produksi proyek battery materials dan proyek battery recycling di kawasan industri Buli, Maluku Utara,” ungkap Luhut dalam keterangan resminya, pada Jumat (15/6/). 

Baca Juga: Luhut Sebut China Ingin Prabowo Berkunjung usai Jadi Presiden: Ada Agenda yang Mereka Usulkan

Luhut mengungkapkan harapannya terhadap dukungan Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China NDRC, yang diketuai oleh Zheng Shanjie, untuk mendukung proyek pengembangan baterai di kawasan industri Buli, Maluku Utara.

CBL, atau Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co, Ltd, didirikan pada Oktober 2020, yang merupakan kolaborasi antara Ningbo Brunp Contemporary Amperex Co, Ltd, Ningbo Lygend New Energy Co, Ltd, dan Ningbo Meishan Free Trade Port Ruiting Investment Co, Ltd.

Proyek ini berfokus pada pengembangan industri baterai kendaraan listrik dengan investasi sebesar 5,9 miliar dolar AS.

Investasi ini mencakup pengembangan teknologi baterai, integrasi sumber daya dari tambang nikel, hingga produksi dan daur ulang baterai.

Baca Juga: Menkominfo Curiga Judi Online dan Pinjol Ilegal Dimiliki Pihak yang Sama

CATL, pemegang saham utama Ningbo Brunp, memiliki teknologi baterai dengan kapasitas produksi 170,39 GWh pada akhir 2021.

Proyek CBL di kawasan industri Buli, yang mencakup 2.000 hektare, akan menjadi pusat produksi dan layanan sumber daya baterai kendaraan listrik. Proyek ini mencakup bijih nikel laterit, produk turunan nikel, bahan baku baterai energi baru, serta daur ulang baterai.

Dengan integrasi sumber daya dan teknologi serta dukungan dari kedua pemerintah, proyek ini diharapkan memperkuat posisi Indonesia dalam industri baterai global dan memperkuat kerja sama ekonomi dan teknologi antara Indonesia dan China.

 

 

Penulis : Dina Karina Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Antara


TERBARU