Kemenperin Minta Publik Lihat Hilirisasi dari Nilai Ekonomi, Bukan dari Kepemilikan Smelter
Ekonomi dan bisnis | 14 Agustus 2023, 08:52 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Jubir Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif menyampaikan, masyarakat sebaiknya melihat hilirisasi dari nilai tambah ekonominya. Bukan fokus pada kepemilikan atau ownership smelter nikelnya.
Ia mengatakan, multiplier effect dari hilirisasi nikel dan sumber daya alam lainnya sudah mulai terlihat pada ekonomi nasional.
“Hilirisasi jangan dilihat dari ownersip smelter, baik itu PMA (Penanaman Modal Asing) atau PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri)," kata Febri dalam keterangan tertulisnya, Minggu (13/8/2023).
"Tetapi lebih ke arah pendekatan nilai tambah ekonomi, sehingga benefit (manfaat) yang dirasakan dengan berjalannya hilirisasi memberikan nilai nyata bagi pembangunan nasional,” tambahnya.
Ia lalu menjabarkan data yang ada di Kemenperin. Saat ini ada 34 smelter yang sudah beroperasi dan 17 smelter yang sedang dalam konstruksi.
Baca Juga: Stasus Sri Mulyani Jawab Kritikan Faisal Basri Soal Hilirisasi Nikel Untungkan China: Anda Keliru
Investasi yang telah tertanam di Indonesia sebesar 11 miliar dolar AS atau sekitar Rp165 triliun untuk smelter Pyrometalurgi, serta sebesar 2,8 miliar dolar AS atau mendekati Rp40 triliun untuk tiga smelter Hydrometalurgi yang akan memproduksi MHP (Mix Hydro Precipitate) sebagai bahan baku baterai.
Dalam proses pembangunannya, smelter menyerap produk lokal. Dari puluhan smelter itu, sudah ada 120.000 orang tenaga kerja. Sementara dari lokasi, smelter tersebar di berbagai provinsi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, serta Banten.
“Hal ini mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut dengan meningkatnya PDRB di daerah lokasi smelter berada,” ujarnya.
Dari sisi nilai tambahnya, nilai tambah yang dihasilkan dari nikel ore hingga produk hilir meningkat berkali-kali lipat jika diproses di dalam negeri atau menghilirkan proses barang mentah.
Perhitungannya, jika nilai nikel ore mentah dihargai 30 dolar AS per ton, ketika menjadi nikel pig iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai 90 dolar AS per. Sedangkan bila menjadi Ferronikel, akan naik 6,76 kali atau setara 203 dolar AS per ton.
Baca Juga: Kasus Mahasiswa UIN Raden Mas Surakarta Dipaksa Daftar Pinjol, Begini Penanganan OJK
Jika produk itu kembali diolah menjadi nikel matte, maka nilai tambahnya juga akan naik menjadi 43,9 kali atau 3.117 dolar AS per ton. Apalagi Indonesia sudah punya smelter yang menjadikan nikel sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah sekitar 120,94 kali (3.628 per ton).
“Apalagi, jika ada ada pabrik baterai yang mengubah ore menjadi LiNiMnCo, maka nilai tambahnya bisa mencapai 642 kali lipat,” ungkapnya.
Dengan naiknya nilai tambah hasil olahan nikel itu, pemasukan negara dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak-pajak lainnya akan bertambah. Karena nilai objek pajaknya juga bertambah.
“Dari sini saja sudah terbukti, seperti yang disampaikan oleh Bapak Presiden, jika kita mengekspor bahan mentah, angkanya Rp17 triliun, dibandingkan dengan ekspor produk hasil hilirisasi nikel yang mencapai Rp510 triliun. Sehingga penerimaan negara dari pajak akan jauh lebih meningkat,” tuturnya.
Menurut Jokowi tuduhan itu tidak benar. Dia malah mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan itu.
Baca Juga: Jokowi Tegaskan Tak Ada Negara-Organisasi yang Bisa Hentikan Hilirisasi Indonesia
“Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun,” katanya di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8).
Jokowi menambahkan dari angka itu saja jelas; negara bisa mendapatkan pajak yang lebih besar dari hilirisasi nikel yang dilakukan.
“Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari 17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?” katanya.
Sebelumnya, ekonom senior Faisal Basri mengatakan China mendapat keuntungan 90 persen dari hilirisasi nikel. Lantaran smelter nikel di RI dimiliki oleh perusahaan China. Sementara Indonesia hanya mendapatkan 10 persen dari keseluruhan keuntungan dari kebijakan tersebut.
Hal itu ia sampaikan saat jadi pembicara dalam acara Kajian Tengah Tahun INDEF pada Selasa (8/8).
Baca Juga: Siap-Siap, Tarif Tol Jagorawi dan Tol Sedyatmo Naik Mulai 20 Agustus 2023, Ini Rincian Tarif Barunya
Ia juga menilai kontribusi ekonomi sebesar Rp510 trilliun dari hilirisasi nikel yang disampaikan Presiden Jokowi tidak jelas.
"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," tulis Faisal di laman www.faisalbasri.com.
Ia menjelaskan, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai USD85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per USD.
"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah USD27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per USD, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun," lanjutnya.
Baca Juga: Tiket Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dijual Rp250.000, Sama dengan Tiket Argo Parahyangan
Faisal bilang, terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden Jokowi dan hitung-hitungannya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat.
Namun, sambungnya, ia meragukan apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia, mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China.
Sedangkan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber :