Kemenperin Minta Publik Lihat Hilirisasi dari Nilai Ekonomi, Bukan dari Kepemilikan Smelter
Ekonomi dan bisnis | 14 Agustus 2023, 08:52 WIBMenurut Jokowi tuduhan itu tidak benar. Dia malah mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan itu.
Baca Juga: Jokowi Tegaskan Tak Ada Negara-Organisasi yang Bisa Hentikan Hilirisasi Indonesia
“Hitungan dia bagaimana. Kalau hitungan kita ya, contoh saya berikan nikel, saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun,” katanya di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8).
Jokowi menambahkan dari angka itu saja jelas; negara bisa mendapatkan pajak yang lebih besar dari hilirisasi nikel yang dilakukan.
“Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari 17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?” katanya.
Sebelumnya, ekonom senior Faisal Basri mengatakan China mendapat keuntungan 90 persen dari hilirisasi nikel. Lantaran smelter nikel di RI dimiliki oleh perusahaan China. Sementara Indonesia hanya mendapatkan 10 persen dari keseluruhan keuntungan dari kebijakan tersebut.
Hal itu ia sampaikan saat jadi pembicara dalam acara Kajian Tengah Tahun INDEF pada Selasa (8/8).
Baca Juga: Siap-Siap, Tarif Tol Jagorawi dan Tol Sedyatmo Naik Mulai 20 Agustus 2023, Ini Rincian Tarif Barunya
Ia juga menilai kontribusi ekonomi sebesar Rp510 trilliun dari hilirisasi nikel yang disampaikan Presiden Jokowi tidak jelas.
"Angka-angka yang disampaikan Presiden tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," tulis Faisal di laman www.faisalbasri.com.
Ia menjelaskan, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai USD85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama yaitu Rp11,865 per USD.
"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah USD27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per USD, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun," lanjutnya.
Baca Juga: Tiket Kereta Cepat Jakarta-Bandung Dijual Rp250.000, Sama dengan Tiket Argo Parahyangan
Faisal bilang, terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden Jokowi dan hitung-hitungannya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat.
Namun, sambungnya, ia meragukan apakah uang hasil ekspor mengalir ke Indonesia, mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China.
Sedangkan Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber :