> >

Jokowi Izinkan Ekspor Pasir Laut Setelah 21 Tahun Dilarang, Walhi hingga Susi Pudjiastuti Protes

Ekonomi dan bisnis | 29 Mei 2023, 13:41 WIB
Sebuah kapal tunda dan kapal tongkang pengangkut pasir dari Pulau Citlim, Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, disita Gugus Keamanan Laut Komando Armada I untuk selanjutnya dibawa ke Pangkalan TNI AL di Batam, Kepulauan Riau, Kamis (25/7/2019). (Sumber: KOMPAS/Pandu Wiyoga)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo kembali mengizinkan ekspor pasir laut pada tahun 2023. Sebelumnya, ekspor pasir laut sempat dilarang sejak tahun 2002 atau 21 tahun lalu.

Pembukaan keran ekspor pasir laut itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diteken Jokowi pada 15 Mei 2023.

Dalam aturan itu disebutkan, hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa:

a. pasir laut; dan/atau
b. material sedimen lain berupa lumpur.

Kemudian, pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut digunakan untuk:
a. reklamasi di dalam negeri;
b. pembangunan infrastruktur pemerintah;
c. pembangunan prasarana oleh Pelaku Usaha; dan/atau
d. ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menanggapi aturan tereebut, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta pemerintah membatalkan putusan tersebut.

Baca Juga: Sri Mulyani dan PPATK akan Dalami Transaksi Mencurigakan Rp189 Triliun Terkait Ekspor Emas

Ia menilai kerugian lingkungan yang diderita Indonesia akan jauh lebih besar, dibanding keuntungan ekonomi yang didapat.

"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dg penambangan pasir laut," cuit Susi di akun Twitter pribadinya, Minggu (28/5/2023).

Mengutip dari laporan Kompas.id, Senin (29/5/2023), terbitnya PP No 26/2023 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 15 Mei lalu itu mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.

Keppres No 33/2002 yang terbit pada masa pemerintahan Presiden Megawati itu, bertujuan mengendalikan bisnis ekspor pasir laut yang merugikan Indonesia.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin, menduga, PP No 26/2023 diterbitkan pemerintah utamanya untuk melayani kebutuhan reklamasi.

Baca Juga: Kata Menteri PUPR Soal Sindiran Anies Bandingkan Pembangunan Jalan Era Jokowi...

Kajian Walhi terhadap dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) 28 provinsi menunjukkan, hingga 2040 akan ada 3,5 juta hektar lahan yang direklamasi di Indonesia.

”Pemerintah menggunakan istilah pengelolaan sedimentasi laut dalam PP No 26/2023. Sebenarnya, peraturan itu arahnya amat jelas untuk melegalkan penambangan pasir laut di mana-mana,” kata Parid kepada Kompas.id.

Ia mencontohkan beberapa pulau yang tenggelam karena maraknya penambangan pasir laut.

Salah satu daerah yang marak eksploitasi pasir laut adalah Kepulauan Riau. Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun.

Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolak ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura.

Baca Juga: 7 Perusahaan Kena Denda Rp71,2 M oleh KPPU dalam Kasus Kartel Minyak Goreng

Tenggelamnya pulau akibat tambang pasir laut juga terjadi di Kepulauan Seribu, Jakarta. Ada tujuh pulau yang tenggelam di sana, salah satunya adalah Pulau Ubi Besar yang sebelumnya dihuni penduduk.

”Presiden sering mengatakan di forum internasional bahwa Indonesia punya komitmen untuk menciptakan laut yang sehat dengan terus memperluas wilayah konservasi. Namun, kebijakan yang dikeluarkan seperti soal tambang pasir laut ini membuktikan komitmen pemerintah menjaga lingkungan laut yang sehat hanya retorika di atas mimbar,” tuturnya.

Ia menambahkan, PP No 26/2023 bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya.

Yakni UU No 27/2007 juncto UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang penambangan mineral yang merusak lingkungan.

Selain itu, UU tersebut juga mengatur hukuman pidana bagi pihak yang melanggar.

”PP No 26/2023 seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya,” kata Parid.

Baca Juga: Guru PAI Akan Terima Insentif Rp250.000 Selama Setahun, Ini Kriteria Penerimanya

Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Kepri, Rudi Chua menilai, pertambangan pasir laut sebenarnya bisa memberi dampak positif terhadap perekonomian Kepri.

Tapi, pemerintah pusat amat perlu merumuskan sanksi tegas untuk mengantisipasi pelanggaran yang mungkin terjadi ke depan.

”Yang dulu terjadi di Kepri, wilayah tangkap nelayan rusak akibat tambang pasir laut. Selain itu, banyak pengusaha yang misalnya mengekspor 1.000 ton, tetapi melapor hanya 100 ton,” katanya.

"Hukuman pidana saja tidak membuat mereka jera, apalagi kini hukumannya menurut PP No 26/2023 hanya sanksi administratif,” ujarnya. 

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV, Kompas.id


TERBARU