Mengenal Rahmah El-Yunusiah, Ulama dan Pejuang Pendidikan Perempuan di Indonesia
Risalah | 12 April 2022, 15:09 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Sebelum era kemerdekaan Republik Indonesia (RI), bisa dikatakan sebagai masa ketidakberpihakan terhadap kaum perempuan di nusantara khususnya dalam bidang pendidikan.
Pada masa itu, banyak diskriminasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Beberapa perempuan tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan tinggi, harus melaksanakan pingitan, serta tidak diberikan ruang gerak yang setara dengan laki-laki.
Kemudian hadir sosok perempuan yang masa mudanya dihabiskan untuk memperjuangkan pendidikan di Indonesia. Namanya memang tidak seharum RA Kartini, namun perjuangannya begitu membekas untuk bangsa ini. Ia adalah Rahmah El-Yunusiyah
Rahmah merupakan satu dari sedikit perempuan di zaman pra-kemerdekaan yang beranggapan bahwa perempuan memiliki hak belajar dan mengajar yang sama dengan kaum laki-laki. Bahkan dibandingkan laki-laki, perempuan juga mampu memiliki kecerdasan yang tak kalah hebat.
Atas jasa-jasa memperjuangkan hak perempuan atas pendidikan, terutama pendidikan Islam. Rahmah diberi gelar Bintang Mahaputra Adipradana.
Baca juga: Mengenang Hadratusyaikh Hasyim Asy ari, Ulama Pendiri NU yang Wafat 7 Ramadan 1336 H
Masa Muda Rahmah El-Yunusiah
Dikutip dari laman resmi Suara Muhammadiyah, Rahmah lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 29 Desember 1900 dan wafat pada 26 Februari 1969.
Rahmah berasal dari keluarga terpandang dan religius. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafi’ah.
Ayahnya adalah seorang qadhi (hakim agama) di wilayah Pandai Sikat yang juga ahli dalam ilmu falak. Kakeknya adalah Syekh Imaduddin, ulama terkenal Minangkabau dan tokoh Tarekat Naksyabandiah.
Selama hidupnya, Rahmah tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Ia mendapat pendidikan awal mulanya dari ayahnya. Itu pun hanya hanya sebentar karena sang ayah meninggal ketika ia masih sangat muda. Sepeninggal sang ayah, Rahmah kemudian mendapat bimbingan langsung dari kakak-kakaknya yang ketika itu telah dewasa.
Kemampuannya dalam membaca dan menulis Arab dan Latin diperoleh dari kedua orang kakaknya, Zainuddin Labay El-Yunusy dan Muhammad Rasyad. Ia kemudian belajar ilmu agama pada sejumlah ulama terkenal Minangkabau.
Baca juga: Kisah Ukasyah, Ahli Surga yang Justru Ingin Mencambuk Rasulullah
Di antara para ulama yang pernah menjadi gurunya Rahmah adalah Haji Abdul Karim Amrullah (ayahanda Buya Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padangpanjang), Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdul Latif Rasjidi, dan Syekh Daud Rasjidi.
Selain ilmu keislaman, Rahmah juga mempelajari ilmu kesehatan, khususnya kebidanan dan keterampilan-keterampilan wanita, seperti memasak, menenun, dan menjahit.
Perjuangan Rahmah di dunia pendidikan
Berkat pendidikan yang ia peroleh, Rahmah mendirikan Madrasah Diniyah li al-Banat atau Diniyah School Putri pada 1 November 1923, ketika usianya 23 tahun. Saat itu, muridnya ada 71 orang, dan sebagian besar merupakan kelompok ibu muda.
Mendirikan sekolah khusus perempuan pada masa itu bukanlah hal mudah. Kendala utama yang dihadapi adalah cemoohan dari masyarakat. Bagi banyak kalangan saat itu, sekolah perempuan dengan tenaga pengajar yang juga perempuan merupakan hal aneh, tabu dan melanggar adat.
Untuk menampik ejekan ini, Rahmah membuktikan dengan menampik bantuan dari masyarakat yang masih memandang miris perempuan dan menggunakan cara sendiri untuk membangun sekolah. Bahkan, ia merelakan rumahnya dijadikan sebagai ruang kelas.
Menurut catatan Hamka dalam Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982) menggambarkan sosok Rahmah El Yunusiyah sebagai perempuan Muslim yang revolusioner dan pantang menyerah.
Rahmah sampai berangkat ke Malaysia menemui sultán-sultan Melayu untuk meminta bantuan.
Pada 1928, Diniyah Putri memiliki 200 murid, lalu bertambah menjadi dua kali lipat pada 1935.
Baca juga: Biografi HOS Tjokroaminoto, Pemimpin SI yang Dijuluki "Raja Jawa Tanpa Mahkota"
Tahun 1955, para petinggi Universitas Al-Azhar, Mesir, datang ke Padang dan menyempatkan berkunjung ke Sekolah Diniyyah Putri milik Rahmah. Mereka terkagum-kagum melihat ide dan upaya yang dilakukannya.
Para petinggi universitas tersebut mengakui bahwa Al-Azhar dan Mesir pada umumnya, masih tertinggal jauh dari sekolah yang digagas oleh Rahmah.
Dua tahun kemudian, Rahmah diundang ke Mesir. Ia mendapat gelar kehormatan “Syehkhah” dan menjadi perempuan pertama yang mendapatkan gelar itu dari Al-Azhar.
Kedatangan Rahmah dan cerita soal Sekolah Diniyyah menginspirasi Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat, yaitu fakultas khusus untuk perempuan yang direalisasikan pada 1962.
Penulis : Baitur Rohman Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV