Serikat Pekerja Minta Penetapan Upah Buruh Tak Lagi Mengacu UU Cipta Kerja, Daya Beli Makin Anjlok
Kebijakan | 19 Juli 2022, 08:31 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Daya beli masyarakat dinilai akan semakin tergerus dan konsumsi rumah tangga semakin tertahan. Pasalnya, selain tingkat upah pekerja yang relatif rendah sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga akan makin tergerus akibat lonjakan inflasi.
Diketahui, dalam waktu 1-2 bulan lagi, penetapan upah minimum tahun 2023 akan mulai dibahas.
“Jika upah minimum 2023 masih mengacu pada PP No 36/2021, dapat dipastikan upah buruh akan kembali tergerus dan konsumsi rumah tangga semakin tertekan oleh kenaikan inflasi yang tajam,” ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Senin (18/7/2022), dilansir dari Kompas.id.
Ia pun mengusulkan agar dalam momentum revisi UU Cipta Kerja, formula penetapan upah minimum menjadi salah satu pasal prioritas yang diubah.
Kemudian, upah minimum tahun depan sebaiknya kembali menggunakan rumus pengupahan yang ada di PP No 78/2015 sebagai turunan UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Rumus upah minimum di PP No 78/2015 pun perlu dievaluasi agar menggunakan variabel produk domestik regional bruto (PDRB) dan inflasi provinsi ketimbang produk domestik bruto (PDB) nasional dan inflasi nasional sebagaimana yang tercantum di PP tersebut.
Timboel menilai, di tengah kondisi sekarang ini, pemerintah harus memperbaiki daya beli buruh agar konsumsi agregat masyarakat meningkat, bukan malah terus-menerus menekan upah dan daya beli buruh. Apalagi, 52 persen dari struktur pertumbuhan ekonomi nasional ditentukan oleh konsumsi agregat masyarakat.
”Fakta tergerusnya upah minimum dan daya beli pekerja tahun ini seharusnya bisa dievaluasi sehingga kenaikan upah minimum 2023 nanti bisa lebih tinggi dari tingkat inflasi,” ujar Timboel.
Baca Juga: Tolak Omnibus Law hingga Revisi Upah Minimum, Jawa Timur Gelar Demo Peringatan May Day
Sebagaimana diketahui, Sejak Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan berlaku, aturan upah minimum pun menggunakan formula yang berbeda.
Untuk menjaga iklim investasi dan berusaha, regulasi itu menetapkan sistem pengupahan baru yang menahan laju kenaikan upah minimum agar lebih moderat alias tidak terlalu tinggi.Rumus baru tersebut mulai diterapkan pada 2022.
Hasilnya, rata-rata kenaikan upah minimum nasional tahun ini hanya 1,09 persen dan rata-rata kenaikan upah riil hanya 1,12 persen per Februari 2022. Angka tersebut ada di bawah tingkat inflasi tahunan Oktober 2021 ketika kebijakan upah minimum ditetapkan, yakni 1,66 persen.
Seiring berjalannya waktu, inflasi yang terus melejit semakin menggerus upah buruh yang hanya naik tipis. Per Juni 2022, inflasi tahunan nasional sudah mencapai 4,35 persen dan inflasi tahun berjalan mencapai 3,19 persen, semakin jauh di atas kenaikan upah pekerja.
Kebijakan upah minimum 2023 belum dibahas
Adapun Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, sampai saat ini kebijakan upah minimum 2023 belum dibahas di Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional dan Dewan Pengupahan Nasional (Depenas).
Menurut rencana, hal itu baru akan dibahas pada Agustus nanti.
Elly mengatakan, serikat buruh yang tergabung di LKS Tripnas akan menolak penggunaan PP No 36/2021 sebagai landasan hukum penetapan upah minimum 2023.
“Seharusnya itu tidak berlaku lagi karena UU-nya sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan dalam waktu dekat akan direvisi. Serikat buruh harus kompak menolak,” katanya.
Terkait dengan perintah Mahkamah Konstitusi agar UU Cipta Kerja direvisi, menurut Elly, sampai saat ini belum ada undangan dari pemerintah untuk membahas pasal-pasal di kluster ketenagakerjaan. Namun, ia berharap pemerintah tidak sekadar menjadikan serikat buruh yang hadir sebagai cap stempel legitimasi.
“Kalau diajak bicara, tetapi ide-ide kami tidak diperhitungkan, sama saja,” ujarnya.
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas.id