> >

Ekonom: Krisis Energi Global Belum Tentu Berdampak Signifikan Bagi Iklim Investasi di Indonesia

Ekonomi dan bisnis | 28 Oktober 2021, 19:01 WIB
Ilustrasi kapal pengangkut gas alam cair atau LNG. Harga LNG yang naik tajam membuat krisis energi di sejumlah negara, lantaran LNG digunakan untuk pembangkit listrik (19/10/2021). (Sumber: Bloomberg )

JAKARTA, KOMPAS.TV – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad menilai, kinerja investasi yang mulai menurun pada triwulan III-2021 bukan semata-mata dampak varian delta ataupun PPKM, melainkan alur investasi yang mulai kembali ke kondisi normal.

Diketahui, realisasi investasi di Indonesia sampai September 2021 mencapai 73,3 persen atau mencapai Rp 659,4 triliun dari target Rp 900 triliun pada tahun ini.

Kementerian Investasi mencatat, pada triwulan III-2021, realisasi investasi mencapai Rp 216,7 triliun. Angka itu turun 2,8 persen dibandingkan dengan triwulan II-2021 kendati masih tumbuh 3,7 persen secara tahunan ketimbang triwulan III-2020. Penurunan itu disinyalir akibat pandemi yang sempat memburuk pada Juli-Agustus 2021.

Namun, Tauhid menilai, capaian investasi yang tumbuh pada tahun lalu lebih banyak ditopang oleh investasi mangkrak yang berhasil dieksekusi.

”Tahun ini bisa jadi memang sudah kembali ke flow normal, sementara sisa investasi yang mangkrak belum bisa direalisasikan,” ujarnya, seperti dikutip dari Kompas.id.

Baca Juga: Krisis Energi Landa Sejumlah Negara, Indonesia Mau Cari Peluang Tarik Investor

Menurutnya, mengejar target Rp 240 triliun dalam waktu tiga bulan akan menjadi tantangan yang cukup berat. Selain itu, krisis energi global belum tentu bisa berdampak signifikan bagi iklim investasi di Indonesia.

 ”Karena kondisinya, justru banyak usaha di sana yang terpaksa tutup, bagaimana mau bicara ekspansi,” kata Tauhid.

Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, dinamika global, seperti krisis energi yang kini menerpa beberapa negara, misalnya China, Eropa, dan India, bisa dimanfaatkan untuk menarik investasi ke dalam negeri dan mengejar target investasi tahun ini.

Ketika biaya listrik di negara-negara tersebut naik akibat krisis energi, biaya produksi ikut naik, demikian juga harga jual produk. Hal itu mengurangi efisiensi dan menurunkan daya saing produk akibat harga yang lebih mahal.

Sebaliknya, Bahlil menyebutkan, Indonesia justru memiliki suplai energi yang berlebih. Berdasarkan laporan PT PLN (Persero) misalnya, wilayah Jawa-Bali saat ini punya pasokan energi berlebih sampai 2.500 megawatt (MW).

”Ini kesempatan kita meminta perusahaan-perusahaan di negara lain itu untuk merelokasi usahanya ke Indonesia agar biaya produksi mereka bisa rendah dan produknya lebih kompetitif,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (27/10/2021) lalu.

Baca Juga: Indonesia Tawarkan 3 Proyek di Bidang Energi Terbarukan ke Investor Jepang

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/Kompas.id


TERBARU