Sejumlah Anggota DPR Tolak Perluasan PPN di Beberapa Sektor
Ekonomi dan bisnis | 14 September 2021, 09:27 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak rencana pemerintah apabila mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako, jasa pendidikan dan kesehatan.
Penolakan ini mencuat saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ecky Awal Mucharam dari Fraksi Partai Keadilan Kesejahteraan (PKS) yang juga anggota Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI menyatakan fraksinya menolak penerapan PPN atas sembako, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa sosial, dan jasa pelayanan keagamaan.
Penolakan ini karena kelima item yang akan kena pajak ini merupakan hak dasar seluruh masyarakat. Menurutnya, selama ini kontribusi PPN terbesar dari konsumsi masyarakat.
“Jika pengenaan PPN diperluas, sudah pasti akan memberatkan masyarakat kebanyakan,” katanya saat Rapat Kerja Komisi XI dengan Menteri Keuangan, Senin (13/9/2021).
Alih-alih memberi saran untuk menggenjot penerimaan pajak, Ecky justru meminta pemerintah untuk menaikkan threshold atau batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), dari sebelumnya Rp 4,5 juta per bulan menjadi Rp 8 juta per bulan.
"Ini untuk menambah konsumsi rumah tangga," pungkasnya.
Baca Juga: Presiden Jokowi Tambah Jabatan Wakil Menteri di Kementerian PPN
Pendapat serupa juga diutarakan oleh Fauzi Amor, Anggota Panja RUU KUP dari Fraksi Partai Nasdem yang menolak rencana pengenaan PPN di beberapa sektor tersebut karena dianggap akan memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.
Untuk mengkompensasi penolakan tersebut, Fauzi mendorong pemeritah untuk mengejar pajak penghasilan (PPh) atas perusahaan digital asing serta menyetujui usulan pajak karbon.
Sementara itu, Mukhamad Misbakhun yang juga nggota Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI mewanti-wanti pemerintah, jika sebagian RUU KUP diterapkan 2022 atau 2023, maka pemerintah harus mampu mencapai konsolidasi fiskal.
Pada 2023 ekonomi dan penerimaan pajak musti menggeliat agar defisit anggaran bisa kembali di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). "Penerimaan pajak yang selama 13 tahun ini tidak pernah tercapai, maka harus bisa mencapai target," ujarnya
Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan akan dikenakan PPN dengan tarif PPN yang lebih rendah dari tarif normal.
Namun, dapat tidak dipungut PPN bagi masyarakat yang tidak mampu dengan kompensasi pemberian subsidi. "Rentang barang konsumsi ini bisa dari yang sangat basic sampai yang paling sophisticated," terang dia.
Baca Juga: Was-was PPN Jasa Pendidikan, Kemenkeu Sebut Baru Disiapkan Usai Pandemi Covid-19
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV/Kontan.co.id