> >

BPK Sebut 88 Persen Daerah Belum Mandiri Biayai APBD

Ekonomi dan bisnis | 23 Juni 2021, 12:18 WIB
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Agung Firman Sampurna dalam konferensi pers terkait kasus korupsi PT Asabri bersama Kejaksaan Agung RI hari ini, Senin (31/5/2021). (Sumber: YouTube KompasTV)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sebanyak 88,07 persen Pemerintah Daerah (Pemda) belum mandiri untuk membiayai APBD. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, mayoritas daerah masih sangat bergantung pada dana transfer ke daerah (TKDD) dari pemerintah pusat.

Daerah tersebut belum memaksimalkan potensi di daerah masing-masing untuk menambah penerimaan negara dalam membiayai berbagai program dan proyek strategis.

"Sebagian besar Pemda atau 443 dari 503 Pemda (88,07 persen) masuk dalam kategori belum mandiri," kata Agung dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/06/2021).

"Daerah sangat tergantung pada dana transfer ke daerah (dari pemerintah pusat) untuk membiayai belanja di masing-masing Pemda," tambahnya.

Baca Juga: Audit BPK: Utang Pemerintah 2020 Melebihi Kebutuhan, Khawatir Tak Bisa Dibayar

BPK mencatat, 468 dari 503 Pemda status kemandirian fiskalnya tidak berubah sejak tahun 2013. Bahkan, ketika pandemi melanda pemda tetap mengandalkan pusat.

Sehingga, sekitar 93,04 persen dari 503 pemda di Indonesia yang disurvei dalam indeks kemandirian fiskalnya (IKF) 2020 masih mengalami stagnasi dalam urusan peningkatan kapasitas fiskal daerah dalam 7 tahun terakhir ini.

Selain itu, kesenjangan kemandirian fiskal antardaerah juga masih cukup tinggi pada tahun lalu. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhan belanja masih belum merata.

Indeks Kemandian Fiskal 2020 memperlihatkan adanya perbedaan kadar kemandirian fiskal antara daerah yang mendapat dana otonomi khusus dan bukan penerima dana otonomi khusus.

Baca Juga: Tangani Covid, Pemda Boleh Pakai Dana Desa Hingga Dana Alokasi Umum

Daerah yang tidak menyandang status istimewa atau mendapatkan dana otsus juga memiliki status IKF yang lebih baik ketimbang daerah dengan status istimewa atau penerima transfer dana otsus.

"Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri masih belum merata. Ketergantungan daerah pada dana transfer dari pusat masing tinggi karena dana keistimewaan/dana otonomi khusus merupakan bagian dari dana transfer," jelas dia. 

 

Penulis : Dina Karina Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU