> >

Rencana PPN Sembako Premium, Dirjen Pajak Akui Penerimaan dari PPh, Bea Cukai, dan PNBP Kurang

Ekonomi dan bisnis | 17 Juni 2021, 21:27 WIB
Ilustrasi Pajak (Sumber: Pixabaya)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo, menjelaskan alasan pemerintah berencana memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari sembako premium hingga jasa pendidikan komersil. Menurut Suryo, hal itu untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak.

Suryo mengatakan, pemerintah sudah beberapa kali mengubah kebijakan terkait penerimaan negara yang lain. Seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan kepabeanan. Begitu juga dengan cukai yang objeknya dibatasi hanya minuman beralkohol, tembakau, dan plastik.

"Sedangkan PNBP dari royalti, kontribusinya dari sumber daya alam, dan dividen BUMN. Apakah itu cukup? Jadi itulah variabel yang kami pikirkan supaya kebijakan yang dikeluarkan memenuhi beberapa kriteria yang ditetapkan," kata Suryo seperti dikutip dari Kompas.com, Rabu (16/06/2021).

Ia mengakui, pemerintah butuh dana lebih besar untuk membiayai negara di masa pandemi Covid-19. Apalagi di tahun 2023, batas defisit APBN harus kembali pada angka 3 persen.

Baca Juga: Sri Mulyani Tegaskan Sembako di Pasar Tradisional Bebas PPN

Pemungutan PPN pada sembako premium dan jasa pendidikan komersil juga bagian dari upaya pemerintah mereformasi sistem perpajakan. Lantaran berdasarkan penelitian, saat ini dunia memasuki era 'the death of income tax'.

Yaitu kondisi di mana yang akan semakin sulit dikenakan PPh, karena adanya sifat elusif dari uang akibat transformasi ekonomi digital. Di sisi lain, orang akan semakin mudah dipajaki lewat sisi konsumsi karena adanya integrasi single ID yang bisa di-capture dengan baik.

"Otomatis di sini kebijakan kita harus dilakukan perbaikan. Bagaimana mendesain kebijakan sehingga ada value yang ditambahkan dalam penerimaan negara. Bahwa yang kita buka adalah ruang yang selama ini bisa kita improve," ujar Suryo.

Ia menambahkan, Indonesia merupakan negara yang paling banyak memberikan fasilitas pengecualian tarif PPN, dibanding negara tetangga.

Baca Juga: Ekonom: Percuma Reformasi Pajak Jika Korupsi Merajalela

Pengecualian tarif PPN berlaku untuk barang pertanian, peternakan, perikanan, tambang, kebutuhan pokok, emas, uang, surat berharga, makanan/minuman di restoran, jasa pendidikan, jasa kesehatan, keuangan, dan sosial.

Lalu juga untuk asuransi, keagamaan, kesenian dan hiburan, angkutan umum, perhotelan, parkir, kawasan ekonomi khusus, dan strategis jasa tertentu.

"UU PPN saat ini enggak begitu berbeda dengan UU PPN di negara lain, yang berbeda adalah pengecualian yang ada. Hanya saja dalam sistem pajak saat ini UU PPN ada beberapa treatment, kemudian ada beberapa kelompok barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN," ungkap Suryo.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah tidak akan mengenakan PPN pada sembako yang dijual di pasar tradisional, yang biasa dikonsumsi masyarakat umum.

Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Perusahaan Digital Rela Pindah Negara Demi Hindari Pajak

"Misalnya beras produksi petani seperti Cianjur, Rojolele, Pandan Wangi, yang merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional tidak dipungut PPN," ujar Sri Mulyani saat menemui para pedagang di Pasar Santa, Senin (14/06/2021).

Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang  harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak.

"Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa, seharusnya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak. Itu asas keadilan dalam perpajakan di mana yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi, " terang Sri Mulyani.

Penulis : Dina Karina Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU