Ritual Pantai Payangan, "Saya Sempat Berdiri dan Lari, tapi Datang Lagi Ombak Kedua"
Bbc indonesia | 14 Februari 2022, 22:50 WIBRitual sekelompok orang di Pantai Payangan, Jember, Jawa Timur menelan 11 korban jiwa karena tergulung ombak.
Seorang penyintas bercerita bagaimana ia lolos dari hempasan ombak besar, dan mengaku "melihat ada teman yang minta tolong" tapi tak bisa melakukan apa-apa karena suasana gelap.
Peristiwa ini bukanlah yang pertama, karena terdapat ritual-ritual kepercayaan di pantai yang menyebabkan korban jiwa.
Para ilmuan mengatakan, ritual kepercayaan di pantai akan tetap ada dan harus dilestarikan sebagai bentuk kearifan lokal, tetapi perlu upaya mitigasi agar ke depannya "tidak perlu sampai menghilangkan nyawa".
- Dahsyatnya kekuatan ritual dalam kehidupan sehari-hari
- Upacara doa umat Hindu di Bantul dihentikan paksa, wakil bupati: 'Ini masalah komunikasi saja, jangan dibesar-besarkan seolah-olah kasus intoleransi'
Bayu bersama sekitar 20 orang merapatkan gandeng dengan siku. Mereka melangkah melawan ombak di bibir Pantai Payangan, Jawa Timur, Minggu dini hari (13/02).
Warga dari desa yang berjarak 35 km dari bibir pantai ini, melakukan "ritual untuk ketenangan diri".
Namun, ketenangan yang dicari justru berubah menjadi kepanikan saat ombak besar menghantam barisan mereka.
"Dua kali hantamnya," kata Bayu kepada wartawan Tutus Sugiarto yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Ombak yang pertama itu [saya] ikut hanyut, tapi saya cepat berdiri. Habis itu lari saya, lari menghindari itu semuanya, [baru] ombak yang kedua hantam," tambah Bayu.
Di tengah kepanikan, Bayu mendengar teriakan-teriakan meminta bantuan saat ombak menyeret lebih jauh. Tapi suasana saat itu gelap gulita, dan dia harus menghadapi peristiwa nahas itu tanpa bisa berbuat apa-apa, dan harus "nunggu pagi".
"Saya lihat ada teman saya yang minta tolong, tapi lari semua yang bisa, yang selamat itu ke pinggir," ungkap Budi.
Sebelas orang dinyatakan meninggal dalam peristiwa tersebut. Sementara, Bayu bersama 12 peserta lainnya selamat.
Ritual menenangkan diri
Kepolisian mengatakan ritual yang dijalankan ini dilakukan dengan pelbagai tujuan, seperti penyelesaian masalah keluarga, melancarkan usaha, dan mendapat pekerjaan.
"Kami belum bisa menyatakan secara pasti, namun, berdasarkan informasi yang ada di masyarakat, atau orang yang menyaksikan, disebutkan ritualnya adalah untuk menenangkan diri," kata Kapolres Jember, Hery Purnomo kepada media.
Dari hasil keterangan sejauh ini, polisi juga menyatakan para pelaku ritual sudah diberikan peringatan sebelumnya oleh warga setempat, terkait dengan cuaca buruk.
Deretan ritual berujung maut di pantai
Peristiwa ritual di pantai yang menelan korban jiwa bukan sekali terjadi. Berdasarkan pemberitaan sejumlah media terdapat peristiwa serupa di daerah lain.
Terakhir adalah kasus ibu dan anak yang terseret ombak saat melakukan Melukat di Pantai Biaung, Bali, pada Mei 2021. Melukat adalah upacara pembersihan pikiran dan jiwa dalam diri manusia.
Sebelumnya pada 2018 di Bali, tepatnya di Pantai Klotok diberitakan dua orang meninggal setelah melakukan menghanturkan sesaji wewantenan Guru Piduka. Pada 2017, tiga warga pengunjung meninggal tersapu ombak di Pantai Wotgalih, Jawa Timur saat merayakan kupatan.
Dan, tiga orang meninggal terseret ombak di Pantai Paseban, Jawa Timur saat melakukan ritual penyembuhan penyakit 2018 silam.
Akan terus ada tapi perlu upaya penanggulangan
M. Alie Humaedi, Profesor Riset bidang Kebudayaan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan pelaku ritual sulit lepas dari apa yang ia sebut "kesemestaan".
"Sedekah Laut, Nadranan, itu ritual yang seperti syarat ke gunung. Jadi, saya kira kejadian seperti ini akan terus ada, ketika memang masyarakat memiliki keyakinan atas ritual-ritual seperti itu. Itu sudah masuk ke dalam praktik kehidupan kepercayaan mereka," kata Prof Alie.
Saat ritual tersebut berlangsung, terdapat "nilai yang mereka yakini" adanya "transmisi kekuatan semesta yang lain ke dalam diri mereka."
Prof Alie juga mengungkapkan adanya keyakinan dari pelaku ritual ketika menghadapi tantangan alam semakin besar, maka ia semakin merasa "sakti".
"Ada ombak berarti harus masuk ke dalam ombak. Ada gunung saya harus menjelajahi gunung. Ada di dalam hutan belantara dan sebagainya. Itu secara manusia dan teori antropologi itu sudah sangat kental masalah ini," tambah Prof Alie.
Namun, menurut Prof Alie, siapa pun, termasuk negara tak boleh mencampuri kepercayaan ini, karena merupakan "ranah yang istimewa".
"Sudah KTP-nya dipersulit, sekarang masuk ke ranah istimewanya mereka, ya bisa terjadi amuk-amukan saja," katanya.
- Kasus tiga siswa penganut Saksi Yehuwa di Tarakan, bentuk ‘kegagapan’ sistem pendidikan
- Komnas HAM sebut ada pelanggaran HAM terhadap pemeluk aliran kepercayaan
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Heru Nugroho menyebut peristiwa di Pantai Payangan sebagai "ironis".
"Mereka dapat keselamatan spiritual, tapi keselamatan fisiknya kan nggak," katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (14/02).
Dalam ritual-ritual kepercayaan, kata Prof Heru, pelakunya meyakini semakin kuat fenomena alam yang terjadi, maka semakin meyakini adanya petunjuk "Adikodrati" atau supranatural.
"Semakin bergejolak semakin akan memperoleh sesuatu yang lebih. Ada kekuatan alam, mereka percaya akan adanya petunjuk. Akan ada wangsit," katanya.
Untuk itu, ritual seperti ini perlu dipertimbangkan dengan keselamatan jiwa dengan diimbangi kemampuan pelakunya untuk membaca cuaca, ungkap Prof Heru.
"Tidak harus dari negara, tetapi intervensi dari kekuatan-kekuatan sosial, dari LSM misalnya, yang memberi pengertian-pengertian tentang rasionalitas ekologi laut selatan yang perlu dipahami oleh mereka," katanya.
Kearifan sosial yang harus lestari
Bagaimana pun, ritual-ritual ini merupakan bagian kearifan sosial masyarakat yang menjadi salah satu jalan untuk mereka mendekatkan diri dengan alam.
"Menjadi bagian dari katalis dari pelbagai harapan, tantangan, dan persoalan hidup yang dihadapi," kata pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati kepada BBC News Indonesia, Senin (14/02).
Menurut Devie, upacara dan ritual masyarakat perlu dilestarikan, bukan hanya untuk memelihara keberagaman, tapi juga bisa menjadi daya tarik bagi pariwisata.
- Anak-anak perempuan ditampilkan telanjang dalam 'ritual minta hujan' di India
- Orang Yahudi di zaman dahulu 'gunakan ganja' untuk ritual keagamaan
Seperti Prof Heru, kata dia, ritual keyakinan masyarakat ini perlu mendapat perhatian dan "pengawalan", agar ke depannya "tidak perlu sampai menghilangkan nyawa masyarakat".
Menurutnya, tetap diperlukan peran pemerintah dalam melakukan mitigasi.
"Artinya tetap bisa dikelola, artinya tetap ke pantai tapi jaraknya sudah diatur, misalnya. Jadi menurut hemat saya, tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tapi justru ini kita pastikan ke depannya berjalan lebih baik saja," lanjut Devie.
Gelombang tinggi, pemerintah larang sementara
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa kepada wartawan, mengingatkan masyarakat untuk menghindari kunjungan ke pantai dalam waktu dekat ini.
"Hari-hari seperti sekarang, saya mohon kita semua, melakukan kehati-hatian, kewaspadaan, bahwa titik-titik tertentu ada potensi gelombang tinggi," katanya.
Bupati Jember, Hendy Siswanto juga mengeluarkan imbauan agar masyarakat tidak melakukan prosesi ritual dalam waktu dekat karena buruknya cuaca.
"Di musim begini kan, musim ombak besar. Orang nelayan sendiri nggak ada di pantai, itu sudah saya dengar satu dua orang sudah mengingatkan, " katanya seperti dikutip Antara.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC