Ritual Pantai Payangan, "Saya Sempat Berdiri dan Lari, tapi Datang Lagi Ombak Kedua"
Bbc indonesia | 14 Februari 2022, 22:50 WIBProf Alie juga mengungkapkan adanya keyakinan dari pelaku ritual ketika menghadapi tantangan alam semakin besar, maka ia semakin merasa "sakti".
"Ada ombak berarti harus masuk ke dalam ombak. Ada gunung saya harus menjelajahi gunung. Ada di dalam hutan belantara dan sebagainya. Itu secara manusia dan teori antropologi itu sudah sangat kental masalah ini," tambah Prof Alie.
Namun, menurut Prof Alie, siapa pun, termasuk negara tak boleh mencampuri kepercayaan ini, karena merupakan "ranah yang istimewa".
"Sudah KTP-nya dipersulit, sekarang masuk ke ranah istimewanya mereka, ya bisa terjadi amuk-amukan saja," katanya.
- Kasus tiga siswa penganut Saksi Yehuwa di Tarakan, bentuk ‘kegagapan’ sistem pendidikan
- Komnas HAM sebut ada pelanggaran HAM terhadap pemeluk aliran kepercayaan
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Heru Nugroho menyebut peristiwa di Pantai Payangan sebagai "ironis".
"Mereka dapat keselamatan spiritual, tapi keselamatan fisiknya kan nggak," katanya kepada BBC News Indonesia, Senin (14/02).
Dalam ritual-ritual kepercayaan, kata Prof Heru, pelakunya meyakini semakin kuat fenomena alam yang terjadi, maka semakin meyakini adanya petunjuk "Adikodrati" atau supranatural.
"Semakin bergejolak semakin akan memperoleh sesuatu yang lebih. Ada kekuatan alam, mereka percaya akan adanya petunjuk. Akan ada wangsit," katanya.
Untuk itu, ritual seperti ini perlu dipertimbangkan dengan keselamatan jiwa dengan diimbangi kemampuan pelakunya untuk membaca cuaca, ungkap Prof Heru.
"Tidak harus dari negara, tetapi intervensi dari kekuatan-kekuatan sosial, dari LSM misalnya, yang memberi pengertian-pengertian tentang rasionalitas ekologi laut selatan yang perlu dipahami oleh mereka," katanya.
Kearifan sosial yang harus lestari
Bagaimana pun, ritual-ritual ini merupakan bagian kearifan sosial masyarakat yang menjadi salah satu jalan untuk mereka mendekatkan diri dengan alam.
"Menjadi bagian dari katalis dari pelbagai harapan, tantangan, dan persoalan hidup yang dihadapi," kata pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati kepada BBC News Indonesia, Senin (14/02).
Menurut Devie, upacara dan ritual masyarakat perlu dilestarikan, bukan hanya untuk memelihara keberagaman, tapi juga bisa menjadi daya tarik bagi pariwisata.
- Anak-anak perempuan ditampilkan telanjang dalam 'ritual minta hujan' di India
- Orang Yahudi di zaman dahulu 'gunakan ganja' untuk ritual keagamaan
Seperti Prof Heru, kata dia, ritual keyakinan masyarakat ini perlu mendapat perhatian dan "pengawalan", agar ke depannya "tidak perlu sampai menghilangkan nyawa masyarakat".
Menurutnya, tetap diperlukan peran pemerintah dalam melakukan mitigasi.
"Artinya tetap bisa dikelola, artinya tetap ke pantai tapi jaraknya sudah diatur, misalnya. Jadi menurut hemat saya, tidak perlu ada yang dikhawatirkan, tapi justru ini kita pastikan ke depannya berjalan lebih baik saja," lanjut Devie.
Gelombang tinggi, pemerintah larang sementara
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa kepada wartawan, mengingatkan masyarakat untuk menghindari kunjungan ke pantai dalam waktu dekat ini.
"Hari-hari seperti sekarang, saya mohon kita semua, melakukan kehati-hatian, kewaspadaan, bahwa titik-titik tertentu ada potensi gelombang tinggi," katanya.
Bupati Jember, Hendy Siswanto juga mengeluarkan imbauan agar masyarakat tidak melakukan prosesi ritual dalam waktu dekat karena buruknya cuaca.
"Di musim begini kan, musim ombak besar. Orang nelayan sendiri nggak ada di pantai, itu sudah saya dengar satu dua orang sudah mengingatkan, " katanya seperti dikutip Antara.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC