> >

Politisasi Kampus: Etika Akademik versus Kepentingan Politik

Advertorial | 7 Februari 2024, 15:56 WIB
Foto ilustrasi. Mahasiswa asal Indonesia melihat surat suara pemilihan umum legislatif, Selasa (4/2/2014), di Kampus Lund University, Swedia. Pada Pemilu 2024, ada sejumlah negara yang akan menggelar Pemilu Indonesia lebih awal dari jadwal semula yakni 14 Februari 2024. (Sumber: Harian KOMPAS)

KOMPAS.TV – Beberapa hari jelang Pemilu 2024, isu mengenai politisasi kampus semakin bermunculan di ruang publik.

Beberapa waktu yang lalu, beberapa guru besar dari berbagai universitas di Indonesia baik perguruan tinggi negeri seperti Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Hasanuddin (Unhas) maupun perguruan tinggi swasta seperti Universitas 17 Agustus 1945 (Untag), mengklaim jika menjadi perwakilan institusinya masing-masing untuk menyuarakan petisi berisikan kritik terhadap demokrasi di era Presiden Joko Widodo.

Kendati demikian, pihak rektorat universitas justru mengatakan bahwa petisi yang berisikan kritik terhadap Jokowi tersebut, tidak mewakili kampus. Hal tersebut disampaikan oleh rektotat UGM dan juga Unhas.

Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu selaku Sekretaris Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan bahwa petisi Bulaksumur sama sekali tidak mewakili UGM.

“Kalau dari statemen, ya ini bagian dari Universitas Gadjah Mada, tetapi bukan berarti secara kelembagaan ya karena kalau secara kelembagaan ada proses tertentu yang harus dilewati,” kata Andi.

Hal yang sama juga disampaikan rektor Unhas Prof. Jamaluddin Jompa bahwa gerakan petisi yang disampaikan oleh guru besar tidak mewakili Unhas.

Baca Juga: Guru Besar Berbagai Kampus Ramai-ramai Kritik Jokowi, Bahlil: Ini Skenario, Kita sudah Paham Betul

"Bukan persoalan pada isinya, tapi prosesnya. Kalau ada keputusan yang dibuat atas nama institusi, tentunya pasti ada prosesnya ada persetujuan dalam bingkai organisasinya," kata Prof Jamaluddin pada Sabtu (03/02/2024).

Sementara itu, akademisi sekaligus dosen komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Dr. Prabu Revolusi menilai bahwa gerakan petisi yang diinisiasi beberapa guru besar tidak elok.

Hal ini dikarenakan terkesan mencampuradukan kampus dengan kepentingan politik, apalagi jika kampus mengatakan petisi tidak mewakili institusi.

“Sangat tidak elok ketika kampus dicampuradukan dengan kepentingan politik. Apalagi tidak secara resmi mewakili kampus, jika memang gerakan-gerakan itu mewakili kampus maka perlu ada lembaga yang resmi dari kampus untuk bisa menyatakan bahwa ini merupakan sikap dari kampus,” kata Prabu Revolusi di Jakarta, Senin, (05/02/2024).

Ia juga menuturkan bahwa dalam berpendapat, civitas akademika harus mengindahkan etika dan berkata apa adanya jika memang tidak mewakili kampus.

“Seyogyanya kita sebagai civitas akademika harus juga mengindahkan etika dalam menyampaikan pendapat. Jika pendapat pribadi atau sekumpulan orang yang memiliki pendapat yang sama, katakan apa adanya jangan mengatasnamakan kampus kecuali memang ada sikap resmi dari kampus,” tandasnya.

Sebelumnya, gerakan petisi dari para guru besar ini awal mulanya datang dari para civitas di Universitas Gajah Mada (UGM) pada 31 Januari 2024 melalui Petisi Bulaksumur. 

Baca Juga: Guru Besar UNHAS Sampaikan Petisi Untuk Presiden

Begitu pula beberapa guru besar serta civitas akademika dari Universitas Hasanuddin (Unhas) juga menyuarakan hal yang sama.

Sementara yang terbaru datang dari civitas akademika Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya yang menilai bahwa saat ini Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja menjelang Pemilu 2024.

Penulis : Adv-Team

Sumber : Kompas TV


TERBARU