KTM UNCTAD Ke-15: Pandangan, Dampak, dan Tindak Lanjut Indonesia
Advertorial | 11 Oktober 2021, 10:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Salah satu pembahasan agenda perdagangan dan pembangunan terbesar di dunia, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang ke-15 United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) telah dilaksanakan pada 4-7 Oktober 2021.
Sebagai informasi, UNCTAD yang didirikan sejak tahun 1964 merupakan salah satu organisasi PBB yang menangani isu-isu perdagangan dan pembangunan global. Saat ini, UNCTAD mendukung negara-negara berkembang untuk mengakses manfaat-manfaat globalisasi ekonomi dengan lebih adil dan efektif.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, UNCTAD melakukan analisis, memfasilitasi proses konsensus global, dan menawarkan bantuan teknikal (technical assistance) agar tercapai pembangunan berkelanjutan dan inklusif.
Sejatinya, selain UNCTAD terdapat dua organisasi lain yang juga menangani isu perdagangan internasional yaitu World Trade Organization (WTO) dan International Trade Center. Ketiganya sepakat untuk berkolaborasi dengan tugas dan peran masing-masing yang saling melengkapi melalui nota kesepahaman pada tahun 2003.
WTO utamanya berurusan dengan aturan perdagangan global dan proses penyelesaian sengketanya (ajudikasi). Sementara itu, ITC fokus pada usaha untuk menyediakan akses dan menghubungkan usaha kecil dan menengah (UKM) dengan pasar global. Sedangkan UNCTAD menangani kebijakan dan regulasi perdagangan pada level nasional, regional, dan internasional dari sudut pandang pembangunan.
Sekilas KTM Ke-15 UNCTAD
KTM ke-15 UNCTAD merupakan agenda empat tahunan dimana pada tahun ini diadakan secara hybrid (daring dan fisik) di Barbados, Kepulauan Karibia. Negara tersebut tercatat sebagai negara terkecil yang menjadi tuan rumah KTM UNCTAD. Sekitar 2.000 delegasi dari 139 negara berpartisipasi secara aktif pada ajang tersebut.
Tema yang diusung pada tahun ini adalah "From inequality and vulnerability to prosperity for all" yang bertujuan untuk mencari solusi atas kesenjangan dan kerentanan yang dialami oleh negara-negara berkembang sehingga terwujud kesejahteraan untuk semua. Dari tema tersebut jelas terlihat terdapat tiga kata kunci yaitu kesenjangan, kerentanan, dan pemerataan kesejahteraan.
Berbagai isu penting yang menjadi agenda pembahasan dalam KTM dimaksud berkaitan dengan tantangan kesenjangan antara lain kesetaraan gender, ketimpangan akses terhadap manfaat digitalisasi akibat kesenjangan infrastruktur dan literasi digital (digital divide), dan akses terhadap vaksin Covid-19.
Sementara pada topik pembahasan terkait kerentanan, mayoritas negara mengangkat isu dampak pandemi Covid-19 yang menyebabkan krisis ekonomi global dan mengakibatkan jutaan orang di seluruh dunia jatuh kedalam jurang kemiskinan ekstrim serta kehilangan akses terhadap pekerjaan.
Baca Juga: Konferensi Ke-15 UNCTAD Hasilkan Bridgetown Covenant
Selain itu, isu kerentanan lainnya yang juga tidak kalah penting adalah perubahan iklim dan ketahanan pangan global. Konferensi ini menekankan upaya kolaborasi dari semua negara dan berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta agar pemerataan kesejahteraan bisa tercapai lebih baik.
Selaku tuan rumah KTM ke-15 UNCTAD, Perdana Menteri Barbados, Mia Mottley, mengangkat dampak Pandemi Covid-19 dan menggarisbawahi kesenjangan akses vaksin Covid-19. Ia mengungkapkan bahwa negara maju berhasil mengamankan dosis vaksin Covid-19 lima kali lebih banyak daripada yang dibutuhkan, sementara masih cukup banyak negara berkembang yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan vaksin di negaranya. Hal tersebut merefleksikan akses yang tidak setara terhadap sumberdaya dan kemampuan fiskal negara berkembang dalam merespon Pandemi Covid-19.
Selain itu, PM Barbados juga mengangkat berbagai tantangan dampak parah perubahan iklim dan lingkungan hidup yang dialami oleh Small Islands Development States (SIDS), dan serta berbagai tantangan yang dihadapi oleh negara berkembang dalam pencapaian Sustainable Development Goals 2030.
Oleh karena itu ia berharap bahwa konferensi ini bisa menjadi ajang kolaborasi bersama untuk mencari solusi, dan secara khusus menekankan pentingnya “Global Moral Strategic Leadership” dalam penyelesaian berbagai isu kesenjangan yang ada.
Pandangan dan Kontribusi Indonesia
Sebagai negara yang berdaulat dan saat ini memiliki peranan penting dalam tatanan perekonomian dan politik global, Indonesia memiliki sikap dan pandangan sendiri dalam ajang tersebut. Indonesia menyampaikan pandangan agar Kelompok G77 and China di UNCTAD terus memperjuangkan pencapaian dunia yang lebih tangguh dan berkelanjutan melalui prinsip "leaving no one behind".
Sebagai informasi, Kelompok G77 merupakan koalisi negara berkembang yang beranggotakan 134 negara, termasuk Indonesia, yang dirancang untuk mempromosikan kepentingan ekonomi kolektif para anggotanya dan menciptakan kapasitas negosiasi bersama di PBB. Prinsip tersebut sejalan dengan tema besar KTM ke-15 UNCTAD, yaitu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata.
Indonesia menyoroti bahwa upaya dan hasil dari penanganan bersama Covid-19 adalah ujian sesungguhnya untuk membuktikan usaha bersama dari anggota kelompok tersebut. Lebih lanjut, pertemuan kelompok ini menghasilkan Ministerial Declaration of the Group of 77 and China to UNCTAD 15.
Pada perundingan tersebut, Indonesia mendorong agar sebagai grup terbesar, G77 and China bisa memposisikan diri secara khusus untuk selalu menyuarakan kepentingan-kepentingan negara berkembang. Indonesia beranggapan bahwa persatuan dan solidaritas dari anggota kelompok tersebut merupakan kunci dalam rangka finalisasi dokumen hasil KTM ke-15 UNCTAD yaitu Bridgetown Covenant.
Melalui rangkaian pre-event KTM ke-15 UNCTAD, Indonesia juga memberikan pandangan atas dua isu penting yaitu perluasan digitalisasi dan industri kreatif sebagai langkah untuk mendiversifikasi ekonomi dalam rangka menciptakan ekonomi yang tangguh dan inklusif.
Baca Juga: Peran Aktif Indonesia dalam Rangkaian KTM ke-15 UNCTAD
Secara khusus hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sandiaga Salahuddin Uno, pada sesi "Creative Industries and Trade Digitization Forum”. Ia menekankan bahwa digitalisasi dan industri kreatif membuka akses terhadap kesempatan kerja menjadi lebih luas. Sebagai langkah awal penting bagi negara untuk dapat menyelesaikan masalah kesenjangan akses dan literasi akan teknologi digital.
Disamping itu, pada sesi “High-level launch of the Digital Economy Report 2021” Menteri Komunikasi dan Informatika RI Johnny G. Plate menyampaikan pengalaman Pemerintah Republik Indonesia terkait dampak signifikan dari teknologi digital dalam mendorong potensi ekonomi digital di tanah air, terutama di masa pandemi Covid-19. Menkominfo secara khusus menekankan pentingnya kedaulatan, keamanan, tata kelola, serta kerjasama pertukaran data antar negara dengan kepercayaan.
Selain pembangunan ekonomi yang ,inklusifitas dan perlunya dukungan terhadap digitalisasi, Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri dalam sesi Debat Umum, juga mengangkat pentingnya transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia menekankan perlunya tindakan yang lebih konkret dan terkoordinasi, sesuai dengan prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) dan kemampuan masing-masing negara.
Dampak KTM dan Langkah Indonesia Berikutnya
Bridgetown Covenant sebagai luaran penting KTM Ke-15 UNCTAD telah difinalisasi dan disepakati bersama pada tanggal 7 Oktober 2021. Untuk itu diperlukan upaya maksimal dalam mentransformasikan komitmen tersebut kedalam langkah-langkah nyata, khususnya terkait poin-poin yang menjadi pandangan dan prinsip Indonesia.
Beberapa poin penting diantaranya adalah penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonominya serta optimalisasi industri kreatif khususnya pemanfaatan ekonomi digital.
Baca Juga: Menparekraf RI: Dunia Harus Berinvestasi dalam Bidang Literasi Digital dan Finansial
Terkait penanganan Covid-19, dari sisi ketersediaan dosis vaksin, saat ini stok yang berhasil diamankan dan didistribusikan oleh Indonesia sudah melebihi target.
Walau demikian, Indonesia sebagai negara yang aktif dalam Covax, Menteri Luar Negeri sebagai salah satu co-chair, dapat terus mengupayakan dan mendorong pemerataan distribusi vaksin yang banyak disuarakan negara berkembang. Selain vaksin, penyediaan therapeutic Covid-19 dan berbagai alat medis terkait masih juga perlu menjadi perhatian Pemerintah RI.
Tentunya prioritas saat ini adalah pada pemulihan ekonomi dari dampak Covid-19. Salah satu upayanya adalah dengan diplomasi internasional yaitu menjajaki kerja sama-kerja sama perdagangan seperti mendorong ekspor produk unggulan, peningkatan efisiensi perdagangan melalui pertukaran data perdagangan, akses terhadap pendanaan konsensus dan berbiaya murah (concessional and low-cost finance), serta memperluas jangkauan kerja sama melalui sistem pembayaran digital.
Kemudian, terkait optimalisasi sektor industri kreatif, khususnya ekonomi digital, sebagaimana yang diamini oleh mayoritas delegasi dari berbagai negara, kesenjangan akses terhadap infrastruktur seperti internet dan teknologi digital lainnya serta kesenjangan tingkat literasi digital (digital divide) menjadi faktor krusial.
Dari sisi akses terhadap internet sebetulnya kondisi di Indonesia sudah semakin membaik. Dari sisi infrastruktur teknologi digital lainnya, Indonesia perlu melakukan akselerasi penguasaan terhadap teknologi digital khususnya teknologi Industry 4.0 seperti Internet of Things, 3D Printer, Artificial Intelligence (AI), otomasi, dan beberapa teknologi lainnya.
Berdasarkan data asesmen tingkat kesiapan penerapan teknologi Industri 4.0 atau Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI4.0) yang dilakukan oleh Kemenperin kepada berbagai perusahaan, mayoritas masih berada pada level 2 dan 3 yaitu tingkat kesiapan awal dan sedang.
Lebih lanjut, kesenjangan yang paling terlihat nyata adalah tingkat literasi digital. Jurang pemisah antara tua-muda, desa-kota, jawa-luar jawa, dan tingkat pendidikan rendah-tinggi masih terpaut jauh.
Tentunya koordinasi pada tingkat nasional menjadi kunci, namun penurunan kesenjangan digital divide juga bisa diupayakan Indonesia melalui kerja sama dan diplomasi internasional seperti kerja sama alih teknologi, peningkatan kapabilitas teknologi informasi, dan kerja sama terkait lainnya.
Penulis: Nika Pranata
Peneliti Pada Pusat Riset Ekonomi
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kemlu