Kompas TV advertorial
advertorial

Biodiesel: Kebermanfaatan, Tantangan, dan Masa Depan Sawit Indonesia

Kompas.tv - 5 September 2024, 11:15 WIB
biodiesel-kebermanfaatan-tantangan-dan-masa-depan-sawit-indonesia
Biodiesel, yang diproduksi dari minyak kelapa sawit, bukan hanya dapat menggantikan bahan bakar fosil tetapi juga dapat memberikan manfaat ekonomi signifikan bagi petani sawit lokal. (Sumber: Dok. Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Adv Team

KOMPAS.TV – Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri biodiesel.

Biodiesel, yang diproduksi dari minyak kelapa sawit, bukan hanya dapat menggantikan bahan bakar fosil tetapi juga dapat memberikan manfaat ekonomi signifikan bagi petani sawit lokal.

Namun, di balik potensi tersebut, ada berbagai tantangan yang perlu dihadapi, mulai dari aspek lingkungan hingga dinamika pasar internasional.

Peningkatan produksi biodiesel juga memerlukan koordinasi yang baik di antara berbagai pemangku kepentingan dan penyesuaian regulasi yang mendukung.

Zona Inspirasi KompasTV mengundang Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Dida Gardera, S.T., M.Sc; Ketua Umum DPP Apkasindo Dr. Ir. Gulat ME Manurung, Mp., C.ima; dan Sekretaris Jenderal Aprobi Ernest Gunawan untuk menjadi narasumber dalam pembahasan mengenai biodiesel.

Bersumber dari talkshow tersebut, artikel ini akan menjabarkan kebermanfaatan biodiesel dari kelapa sawit, tantangan yang dihadapi dalam pengembangannya, dan prospek masa depan industri ini di Indonesia, terutama dalam konteks keberlanjutan dan ekonomi global.

Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Ketum DPP Apkasindo) Dr. Ir. Gulat ME Manurung, Mp., C.ima, peningkatan permintaan biodiesel bisa menjadi harapan baru bagi Indonesia.

Dengan meningkatnya permintaan, harga tandan buah segar (TBS) sawit yang merupakan bahan baku utama biodiesel diharapkan dapat naik, memberikan keuntungan bagi petani sawit lokal.

Di sisi lain, Sekjen Aprobi Ernest Gunawan mengatakan, meskipun ada banyak harapan terkait masa depan biodiesel di Indonesia, masih diperlukan berbagai tahapan penyesuaian, termasuk kebijakan domestik yang mendukung. 

Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan biodiesel di Indonesia telah berkembang pesat. Misalnya, sejak 2008, persentase pencampuran biodiesel telah meningkat dari 2,5 persen menjadi 35 persen, dengan rencana mencapai 40 persen pada tahun depan.

Namun, tantangan masih ada, termasuk kepastian hukum dan akses terhadap bahan baku yang berkelanjutan.

Menurut Ketum DPP Apkasindo, kebutuhan biodiesel di Indonesia diperkirakan akan meningkat drastis dalam beberapa tahun ke depan. Pada tahun 2025, kebutuhan biodiesel diproyeksikan mencapai sekitar 16 juta kiloliter, yang sebagian besar akan digunakan untuk program mandatori B50 (pencampuran 50 persen biodiesel dengan solar). 

Selain itu, permintaan untuk minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel dan untuk minyak goreng juga akan meningkat. Saat ini, kebutuhan minyak goreng domestik diperkirakan sekitar 8 juta kiloliter.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Dida Gardera, S.T., M.Sc, menekankan pentingnya program peremajaan sawit rakyat (PSR) dan penyederhanaan regulasi terkait pembiayaan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan.  

Selain itu, pemerintah juga berupaya menyederhanakan proses birokrasi agar para petani sawit dapat lebih mudah mengakses bantuan pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Namun, meskipun ada inisiatif ini, berbagai tantangan masih harus dihadapi. Salah satu masalah utama adalah regulasi yang tidak selalu sinkron antar kementerian, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian. 

Dida Gardera menekankan pentingnya regulasi yang lebih harmonis untuk mendukung PSR dan upaya peningkatan produktivitas perkebunan rakyat. "Regulasi yang ada saat ini kadang menjadi hambatan, seperti klaim tumpang tindih kawasan hutan dan birokrasi yang rumit," ujar Dida.

Lebih jauh, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang mengelola dana sawit juga sering disalahkan atas lambatnya pencapaian target biodiesel.

Namun, menurut narasumber, masalah sebenarnya terletak pada regulasi yang kurang mendukung, bukan pada dana itu sendiri.

Dengan adanya pergantian pemimpin dan pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo, diharapkan akan ada pemahaman baru yang lebih berpihak pada kepentingan petani dan keberlanjutan industri sawit.

Pada saat yang sama, peningkatan persentase pencampuran biodiesel (blending) setiap tahunnya, seperti rencana menuju B50, memerlukan kapasitas produksi yang lebih besar. 

Hal ini berarti perlu ada tambahan investasi untuk membangun pabrik biodiesel baru atau memperluas kapasitas pabrik yang sudah ada.

“Jika regulasi mendukung dan ada kenyamanan dalam berusaha, tentu ini akan menarik lebih banyak investor untuk membangun pabrik baru,” kata Dr. Gulat.

(kiri ke kanan) Melisa Gandasari; Ketua Umum DPP Apkasindo Dr. Ir. Gulat ME Manurung, Mp., C.ima; Sekretaris Jenderal Aprobi Ernest Gunawan; dan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Dida Gardera, S.T., M.Sc. (Sumber: Dok. Tangkapan Layar KompasTV)

Industri sawit di Indonesia memiliki peran penting dalam ekonomi nasional, terutama melalui pengembangan biodiesel sebagai energi terbarukan.

Namun, di balik potensi besar ini, terdapat sejumlah tantangan, khususnya yang berkaitan dengan regulasi dan koordinasi antar lembaga pemerintah. Tidak jarang, kebijakan yang saling tumpang tindih di antara berbagai kementerian dan lembaga menjadi hambatan bagi kemajuan sektor ini.

Menurut narasumber dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, ada lebih dari 34 kementerian dan lembaga yang ikut campur dalam urusan sawit.

Ini mencakup berbagai regulasi yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan lain-lain. 

Campur tangan berlebihan tersebut menyebabkan lambatnya pengembangan sektor hulu, sementara sektor hilir sudah melaju sangat cepat.

Hal ini diperparah dengan keinginan beberapa kementerian untuk mengatur penggunaan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang mencapai Rp63 triliun, dengan alokasi Rp30 triliun per tahun. 

Misalnya, Kementerian Perdagangan pernah mengusulkan agar BPDPKS juga mengurus komoditas lain seperti kakao dan karet. Namun, hal ini justru menambah kompleksitas birokrasi dan menghambat fokus utama BPDPKS untuk mendukung industri sawit.

Mencari Solusi Melalui Satu Otoritas Tunggal

Melihat situasi yang semakin kompleks, muncul usulan untuk membentuk satu badan otoritas tunggal yang akan mengelola semua regulasi terkait sawit. Hal ini diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih peraturan antar kementerian dan memberikan kepastian hukum bagi para pelaku industri, terutama para petani sawit. 

Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Indonesia juga sedang meneliti solusi untuk merampingkan regulasi yang ada, dan hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah, khususnya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Dida Gardera, menambahkan bahwa pemerintah sudah melakukan upaya untuk mengatasi beberapa kendala di sektor hulu.

Salah satu langkah yang diambil adalah meningkatkan mekanisme pendanaan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektar. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu petani sawit melakukan peremajaan dan meningkatkan produktivitas kebun mereka.

Selain itu, pemerintah juga sedang mengkaji berbagai inovasi untuk memaksimalkan potensi dari sawit. Salah satunya adalah penelitian mendalam mengenai "palm kernel expeller" atau bungkil sawit, yang berpotensi menjadi bahan baku baru yang bernilai tinggi.

Harapan bagi Industri Sawit di Masa Depan

Untuk mencapai potensi penuh industri sawit, diperlukan koordinasi yang lebih baik dan kepastian hukum yang jelas.

"Tanpa kepastian hukum dan regulasi yang jelas, investasi di sektor biodiesel, berapa pun kapasitas yang terpasang, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan masa depan," kata pelaku industri biodiesel.

Oleh karena itu, sinergi antara seluruh pemangku kepentingan, mulai dari petani hingga pemerintah, sangat penting.

Selain itu, para pelaku industri berharap agar regulasi untuk biodiesel, seperti mandatori B30 dan B50, diuji dengan cermat sebelum diimplementasikan. Hal ini penting untuk memastikan tidak ada hambatan baik di sisi konsumen maupun produsen biodiesel di masa depan.

Pada akhirnya, industri sawit bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang kemandirian energi dan kesejahteraan petani.

Sebagai penutup, Dr. Gulat Manurung menyampaikan, "Kami di sektor hulu berharap ada kebijakan yang memihak kepada petani sawit, sehingga kami bisa terus berkontribusi bagi negara ini melalui peningkatan produktivitas dan program peremajaan sawit."

Biodiesel dari sawit menawarkan potensi besar bagi Indonesia, baik dari segi keberlanjutan energi maupun dampak ekonomi bagi petani lokal.

Namun, untuk mencapai potensi ini, diperlukan langkah-langkah konkret dalam penyesuaian regulasi, peningkatan produktivitas melalui program intensifikasi, dan investasi dalam kapasitas produksi. 

Dengan koordinasi yang baik antara pemerintah, industri, dan masyarakat, biodiesel dari kelapa sawit bisa menjadi pilar utama bagi masa depan energi dan kemandirian ekonomi Indonesia.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x