Oleh: Abdullah Mufid Mubarrok, Mahasiswa Komunikasi Universitas Siber Asia
BADAR, KOMPAS.TV - Sampai sekarang, pada malam hari masih sering terdengar suara dentingan pedang saling beradu. Ringkikan dan derap langkah kaki kuda acapkali tertangkap di telinga masyarakat yang tinggal di dekat lokasi Perang Badar, meskipun telah ribuan tahun berlalu.
Matahari belum juga meredupkan sinarnya. Meskipun sedang musim dingin, panas masih terasa menyengat. Sesekali angin bersilir tetapi terasa hangat menerpa wajah. Sore itu, Kamis 30 Januari 2020, kami yang berjumlah 42 orang tiba di Kota Badar menjelang waktu asar.
Rombongan yang tergabung dalam Kafilah Umrah Bariklana Tour bergerak dari Hotel Shourfah Jadid, di depan Masjid Nabawi, Madinah, pukul 9 pagi. Setelah mengunjungi percetakan mushaf Al-Qur’an, usai zuhur kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Badar dengan bus yang disewa khusus.
Jarak Kota Badar dari Masjid Nabawi sekira 140 kilometer. Memang tidak lazim, ada travel umrah yang mengajak jamaahnya berziarah ke Makam Syuhada Badar, sekaligus melihat langsung lokasi Perang Badar. Selain letaknya relatif jauh dari Masjid Nabawi, juga medan perjalanan yang cukup menguras tenaga.
Baca Juga: Ingin Umrah, Penerima Vaksinasi Sinovac & Sinopharm Wajib Booster Vaksin yang Disetujui Arab Saudi
Umumnya, jamaah umrah asal Indonesia difasilitasi oleh travel untuk berziarah ke Masjid Quba, Makam Syuhada Uhud, dan situs-situs bersejarah Islam terdekat dari Masjid Nabawi. Jika ingin ke Kota Badar, jamaah pergi secara mandiri dengan menyewa taksi atau mini bus.
“Kami ingin jamaah umrah berziarah ke Makam Syuhada Badar dan melihat langsung lokasi Perang Badar. Perang yang menjadi tonggak perkembangan Islam. Dari ziarah itu, kami berharap perjalanan jamaah umrah menjadi lebih berkualitas,” kata Komisaris Utama Bariklana Tour, KH Fadloli Hasan.
Sepanjang perjalanan menuju Kota Badar yang di kanan kirinya hamparan pasir dan perbukitan, lalu lintas lengang. Sesekali saja melintas kendaraan yang melaju membelah jalanan mulus beraspal. Tidak terlihat bus yang mengangkut jamaah umrah asal Indonesia.
Tiba di Kota Badar, bus berhenti di depan Masjid ‘Areesh. Kami turun dan menuju masjid yang ketika Perang Badar berlangsung, adalah tempat berdirinya tenda Nabi Muhammad Saw serta para pengikutnya.
Selang beberapa menit kemudian, berhenti sebuah bus mini dan parkir di sebelah bus kami. Rupanya puluhan jamaah umrah asal Pakistan yang juga bermaksud ziarah di Kota Badar. “Yang banyak datang ke sini itu jamaah umrah dari Pakistan dan Mesir,” kata Salim, lelaki berusia sekitar 50-an tahun yang menjual teh di depan Masjid ‘Areesh.
Baca Juga: Info Terbaru soal Umrah WNI, Pemerintah Tunggu Regulasi Resmi Arab Saudi
Usai salat asar, kami dipandu menuju lokasi berlangsungnya Perang Badar. Muhammad Ainul Yaqin, sang pemandu yang juga mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM), mengaku baru pertama kali ini ke Kota Badar meskipun telah tinggal selama empat tahun di Madinah.
Lokasi Perang Badar terletak tidak jauh dari Masjid ‘Areesh, sekitar 300 meter. Memasuki kawasan lokasi perang, suasana terasa berbeda. Terasa magis. Angin dingin berhembus menambah kesan syahdu. Hamparan pasir dan tonggak-tonggak tanaman mati menjadi saksi bisu, di situlah ribuan tahun silam berkecamuk perang yang dahsyat.
Badar adalah nama sebuah lembah yang letaknya di antara Makkah dan Madinah. Sejak masa pra Islam, lembah tersebut menjadi jalur kafilah-kafilah dagang asal Makkah atau Yaman yang hendak berniaga ke Syam (Suriah dan Lebanon). Tanahnya subur karena memiliki campuran pasir dan tanah dengan beberapa mata air, sehingga para kafilah bisa singgah beristirahat di lembah ini dengan nyaman.
Saat ini, lembah badar menjadi salah satu kota di wilayah Provinsi Madinah dengan nama lengkap Kota Badar Hunain. Meski demikian, sebagian wilayah lembah yang pernah menjadi lokasi pertempuran besar, yakni Perang Badar al Qubro, masih dibiarkan menjadi padang terbuka.
Di padang terbuka itulah, pertempuran besar antara umat Islam dari Madinah dan kaum kafir Quraisy dari Makkah terjadi. Perang besar di lembah Badar terjadi pada 17 Ramadhan 2 Hijriyah atau 17 Maret 624 M.
Dalam perang badar tersebut, Nabi Muhammad Saw memimpin langsung penyerangan terhadap kaum Quraisy. Peperangan itu melibatkan 313 kaum muslim, 8 pedang, 6 baju perang, 70 ekor unta, serta 2 ekor kuda. Sementara, pasukan dari kaum kafir Quraisy mengerahkan pasukan 1.000 orang, 600 persenjataan lengkap, 700 unta, serta 300 kuda.
Baca Juga: Berharap Mekah Segera Dibuka, Inul Daratista: Masih Punya Janji Berangkatkan Umrah 65 Orang
Perang Badar diriwayatkan tidak memakan waktu lama. Hanya butuh waktu sekitar dua jam bagi pasukan muslim untuk menghancurkan pertahanan tentara kafir Quraisy. Lewat tengah hari, sebanyak 50 pemimpin pasukan kafir Quraisy tewas, termasuk Abu Jahal, paman Nabi Muhammad Saw.
Di Kota Badar, terdapat sebuah bukit pasir yang dinamakan Jabal Malaikat. Diriwayatkan dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 123-125, kemenangan besar umat Islam pada Perang Badar tidak lepas dari kekuasaan Allah Swt yang mengirimkan 3.000 malaikat yang turut membantu dibawah komando Malaikat Jibril.
Ribuan malaikat itu muncul dari balik Jabal Malaikat. Berbagai riwayat mengisahkan heroiknya pasukan dari golongan malaikat membantu umat Islam mengalahkan pasukan kafir Quraisy. Sengitnya pertempuran itu, oleh beberapa warga setempat diyakini sampai saat ini masih terdengar di malam hari.
“Kalau malam hari, suara-suara kuda, adu pedang, dan teriakan-teriakan seperti peperangan, masih sering terdengar. Orang yang tinggal disini sudah terbiasa mendengar itu,” pungkas Salim, yang mengaku lahir dan besar di Kota Badar.
Sumber : Istimewa
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.