JAKARTA, KOMPAS.TV - Non-Fungible Token atau NFT sekarang semakin populer di Indonesia.
NFT secara secara teknis dapat berisi apa pun seperti gambar, GIF animasi, lagu, atau item dalam video game.
Dengan namanya yang Non-Fungible, token ini bersifat individual.
Berbeda dengan aset digital lain seperti Bitcoin, yang bisa ditukarkan dengan yang lain dan identik.
Namun dalam NFT, tidak ada dua koleksi yang sama.
Jadi singkatnya, NFT adalah versi digital dari seni, tanda tangan, atau apa pun yang penting telah diubah ke digital.
Alhasil NFT pun nantinya akan menjadi bahan 'pamer' dalam ruang digital saat nanti metaverse sudah siap untuk digunakan.
Meski tidak bisa diuangkan, NFT bisa diperjualbelikan. Dan nilainya tak tanggung-tanggung bisa berharga miliaran rupiah.
Untuk membuat NFT, seseorang hanya perlu membuat karya seni dengan mengubahnya menjadi digital dan menjualnya di marketplace untuk menemukan pembeli.
Tetapi karena pembayaran dilakukan dalam cryptocurrency, menggunakan blockchain, ada pertanyaan besar tentang dampak terhadap lingkungan.
Baca Juga: NFT Bisa Laku Mahal, Bisakah untuk Investasi Jangka Panjang?
Transaksi Blockchain, dan teknologi yang mereka gunakan, banyak menggunakan listrik.
Ini karena setiap transaksi disimpan dengan server yang besar, dan untuk meraih token itu sendiri membutuhkan banyak listrik.
'Penambang' perlu memecahkan kode komputer untuk mendapatkan imbalan, dan proliferasi teknologi blockchain berarti ribuan orang dengan komputernya berpotensi bersaing untuk mendapatkan koin.
Hal tersebut tentu membutuhkan energi listrik yang sangat besar.
Dilansir dari AS, pada 2017 lalu penambangan dan pemanenan Bitcoin menggunakan energi yang dibutuhkan oleh satu negara Angola.
Cryptocurrency pun menjadi bidang nomor 103 dunia dalam penggunaan energi.
Di tahun ini, kemungkinan besar energi yang digunakan semakin banyak karena semakin dikenalnya cryptocurrency.
Oleh karena itu, membeli NFT yang menggunakan teknologi blockchain, berarti pembeli harus memikul sebagian tanggung jawab untuk menggunakan sistem tersebut.
Di masa mendatang, NFT kemungkinan akan berubah ke metode penyimpanan yang berbeda, yang disebut "bukti kepemilikan".
Singkatnya, sistem ini menghilangkan penggunaan blok server massal untuk menyimpan data dan dengan cepat menghilangkan emisi.
Dengan begitu penggunaan energi bisa ditekan hingga seminimal mungkin.
“Itu pada dasarnya berarti bahwa konsumsi listrik Ethereum akan benar-benar selama sehari atau semalam turun menjadi hampir nol,” kata Michel Rauchs, peneliti di Cambridge Center for Alternative Finance.
Namun untuk menuju titik perubahan tersebut, masih banyak dibutuhkan waktu dan riset dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam waktu dekat, NFT dengan blockchain-nya masih akan menggunakan energi listrik yang besar untuk memproses semua transaksi yang terus berkembang tiap harinya.
Baca Juga: Neymar Beli NFT di OpenSea Seharga Rp15 Milyar!
Sumber : AS.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.