JAKARTA, KOMPAS.TV - Tak dapat dipungkiri, aktivitas "penambangan" mata uang kripto seperti Bitcoin membutuhkan pasokan listrik yang sangat besar.
Untuk menghasilkan satu keping Bitcoin saja dibutuhkan seperangkat komputer atau mining rig yang terdiri dari banyak kartu pengolah grafis (GPU).
New York Times melaporkan, pembuatan Bitcoin mampu menghabiskan hingga 91 terawatt listrik per jam dalam satu tahun.
Angka tersebut meningkat lima kali lipat dari lima tahun lalu dan hampir setara dengan 50 persen total konsumsi listrik seluruh dunia.
Baca Juga: EL Savador Jadi Negara Pertama di Dunia yang Mengakui Bitcoin Sebagai Alat Pembayaran Sah
Lalu, setelah mengetahui besarnya pasokan listrik yang dibutuhkan untuk menambang Bitcoin, kini timbul pertanyaan mengenai alasannya.
Apabila dirunut maka borosnya konsumsi listrik dalam proses menambang Bitcoin bermula dari para pelakunya.
Sebenarnya, transaksi Bitcoin itu amat mudah, cukup dimulai dengan membuka akun di platform penukar mata uang kripto seperti Coinbase.
Melalui platform tersebut, orang bisa membeli Bitcoin dengan membayar melalui mata uang yang sah, seperti dolar atau rupiah, hasilnya kemudian disimpan di dalam dompet digital.
Selanjutnya, ketika hendak berbelanja menggunakan Bitcoin, penambang harus mentransfer aset kriptonya tersebut ke dompet digital orang lain, layaknya transaksi pembayaran pada umumnya.
Baca Juga: Harga Bitcoin Kembali Merangkak Naik, Hampir Sentuh Level 50.000 Dollar AS
Hanya saja, dalam proses pembayarannya, terdapat tahapan validasi yang bertujuan untuk memastikan keaslian Bitcoin dari pembeli.
Keseluruhan proses ini akan dicatat dan diamankan ke dalam sistem Bitcoin public ledger atau dikenal dengan istilah blockchain.
Lebih lanjut, penambang lantas berlomba-lomba untuk menjadi pihak yang memvalidasi transaksi dan memasukannya ke dalam blockchain.
Setiap kali blok baru yang berhasil ditambahkan ke blockchain sebagai catatan transaksi, para penambang akan mendapat imbalan berupa kepingan Bitcoin.
Untuk itu, penambang membutuhkan komputer yang tangguh dan selalu beroperasi supaya mampu memecahkan soal matematika yang melibatkan serangkaian perhitungan algoritma rumit.
Proses inilah yang kemudian disebut dengan mining atau penambangan hingga menghabiskan listrik dalam jumlah besar.
Baca Juga: Wow, Sejumlah Bioskop di Amerika Serikat Siapkan Pembayaran dengan Bitcoin
Bayangkan jika serangkaian proses itu dilakukan banyak orang dan perusahaan, listrik yang dibutuhkan pun akan semakin besar.
Belum lagi, ada kemungkinan satu orang bisa memasang banyak perangkat, karena semakin banyak komputer yang dipasang bakal memberi peluang yang besar pula untuk mendapat kepingan Bitcoin.
Di samping itu, jaringan Bitcoin pun dirancang untuk membuat soal semakin sulit dipecahkan oleh penambang.
Sehingga, penambang akan memasang lebih banyak perangkat komputer dengan spesifikasi tinggi, terutama GPU, agar bisa cepat memecahkan perhitungan algoritma dan memenangkan persaingan.
Belum lagi, karena semakin populer, kini banyak pula orang mulai ikut menambang mata uang kripto yang mengakibatkan kebutuhan akan komputer pun ikut melonjak.
Tak hanya perangkatnya, setiap beroperasi, para penambang pun membutuhkan ruangan yang besar dan daya pendinginan yang cukup, mengingat jam kerja terus berputar selama 24 jam
Perlu diketahui juga, tidak hanya konsumsi listrik yang boros, penambangan Bitcoin juga banyak menghasilkan sampah elektronik.
Hal itu disebabkan oleh perangkat keras yang cepat rusak karena beroperasi terus menerus. Alhasil usia mesinnya rata-rata hanya 1,5 tahun.
Melansir Digiconomist, Kamis (9/9/2021), sampah elektronik dari aktivitas penambangan Bitcoin telah mencapai 8,21 kiloton per tahun. Namun, pada Juni 2021, sampah elektronik dari Bitcoin pernah menyentuh angka 15,15 kiloton.
Sumber : New York Times/Digiconomist
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.