JAKARTA, KOMPAS.TV – Nama selebgram Rachel Vennya belakangan menjadi sorotan usai dirinya membuka sayembara berhadiah Rp 15 juta untuk mencari identitas seseorang.
Diketahui, identitas orang yang dicari merupakan seorang netizen yang diduga menghujat dan menghina Rahcel Vennya.
Singkat cerita, Rachel Vennya tidak terima dan membuka sayembara kepada pengikutnya. Siapa yang berhasil memberikan data pribadi netizen tersebut kepadanya, akan diberi imbalan Rp 15 juta.
Baca Juga: Mengakui Arogan, Rachel Vennya Tutup Sayembara Rp15 Juta dan Minta Maaf
Namun, baru-baru ini Rachel Vennya menutup sayembara tersebut lantaran mendapat kritikan pedas dari berbagai pihak.
Tindakan Rachel Vennya juga memicu perdebatan di media sosial dan menyebut tindakan tersebut mengarah pada doxing.
Apa itu doxing?
Mengutip laman Safenet, Selasa (1/6/2021), doxing merupakan kependekan dari dropping document. Istilah doxing merujuk pada tindakan peretas yang mengumpulkan informasi pribadi, termasuk foto, alamat, nomor identitas, bahkan sampai rincian kredit target.
Baca Juga: Rachel Vennya Tutup Sayembara Rp15 Juta, Begini Kondisi Pembenci yang Sempat Julid di Instagramnya
Lantas, benarkan tindakan Rachel Vennya dapat disebut doxing?
Kepala Divisi Keamanan Digital SAFEnet, Abul Hasan Banimal berpendapat bahwa tindakan Rachel Vennya belum dapat disebut doxing, namun mengarah ke doxing karena Rachel belum menyebarkan identitas pribadi orang lain.
“Jadi doxing itu sendiri kan data pribadi orang lain, yang kemudian dia sebarkan. Dia (Rachel Vennya), sepanjang pengetahuan saya, belum membuka data pribadi targetnya,” ujar Abul Hasan Banimal, dikutip dari Kompas.com, Selasa (1/6/2021).
Banimal mengatakan bahwa dampak doxing sangat berbahaya, di mana data pribadi korban doxing bisa dimanfaatkan untuk kejahatan.
"Itu buat saya sih menakutkan ya. Menakutkannya, semisal ada follower yang emosi, penguntit atau yang punya motif lain. Mereka bisa memanfaatkan info itu. Jika (data pribadi) sudah tersebar, mau ditarik enggak bisa, dilarang enggak bisa" jelasnya Banimal.
Baca Juga: Alasan Rachel Vennya Bikin Sayembara Rp15 Juta untuk Temukan Penghinanya: Butuh Dikasih Pelajaran
Oleh karenanya, Banimal berpesan kepada masyarakat untuk menjaga data pribadi masing-masing karena pelaku doxing tidak bisa diprediksi dan bisa menyasar ke siapa saja.
“Hari ini data itu sangat berharga. Setiap orang punya akses teknologi internet, itu punya potensi untuk doxing,” katanya.
Terlebih, belakangan doxing bukan hanya didefinisikan sebagai tindakan yang membuka data pribadi untuk dibagikan ke publik, namun lebih kepada ancaman kejahatan baru yang difasilitasi teknologi digital.
Baca Juga: AJI Indonesia: 14 Kasus Serangan Digital Kepada Jurnalis dan Media, 8 Diantaranya Kasus Doxing
Dalam riset yang dilakukan SAFEnet, ditemukan bahwa jumlah serangan doxing di Indonesia terus meningkat sejak tahun 2017 hingga 2020. Bahkan, pada tahun 2020, serangan doxing meningkat sebanyak dua kali lipat dibanding tahun 2019.
Dari jumlah tersebut, korban doxing didominasi oleh kalangan wartawan dan aktivis atau pembela HAM.
Selain itu, SAFEnet menemukan jenis doxing yang paling kerap dilakukan di Indonesia adalah delegitimasi doxing, yakni serangan doxing yang dilakukan dengan membagikan informasi pribadi untuk menghancurkan kredibilitas, reputasi, dan/atau karakter korban.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.