Meng-online-kan salat Jumat termasuk kreasi yang sejatinya tidak diperkenankan sebab ritual ini masuk dalam kategori ibadah ta’abbudi (sudah ditentukan syariat).
Berbeda dengan ibadah muamalat lainnya yang bisa memungkinkan kreasi kondisi manusia.
Selain itu, lanjut Asep, salat Jumat online tentu kesatuan tempat secara hakiki (nyata) tidak tercapai.
Ketersambungan jamaah dalam pelaksanaan salat Jumat online juga tidak bisa dicapai karena jamaah ada di berbilang tempat dan lokasi yang berbeda-beda.
Ditambah, posisi imam dan makmum menjadi tidak jelas siapa yang di depan dan siapa yang di belakang serta tidak berlaku lagi ketentuan lurusnya saf salat.
Baca Juga: Usai Salat Jumat, Ulama China Doakan Agar Pandemi Covid-19 di Indonesia Segera Berakhir
Asep sekali lagi menegaskan, bahwa pengganti salat Jumat di masa pandemi bukan dengan meng-online-kan salat Jumat, melainkan dengan jalan rukhsah yaitu diganti dengan salat zuhur empat rakaat di rumah masing-masing.
Ia menjelaskan bahwa mengambil salat zuhur sebagai rukhsah juga sebagai jalan memilih hal yang lebih mudah.
Hal itu didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Bukhari, Nabi saw menuntunkan: ketika memilih di antara dua perkara, maka dipilihlah yang paling mudah dilakukan.
Menurut Asep, pada bidang ibadah, kemajuan teknologi harus dibatasi, karena ibadah merupakan komunikasi manusia dengan Tuhan secara langsung.
“Seandainya kemajuan teknologi masuk dalam bidang ibadah, misalnya azan, mengimami salat atau berkhutbah dilakukan oleh robot, maka proses ibadah menjadi bukan lagi proses manusiawi, tetapi proses mekanisasi,” terang Asep dilansir dari muhammadiyah.or.id pada hari Jumat (16/7/2021).
Baca Juga: Ormas Islam dan Pemkot Pasuruan Imbau Warga salat Jumat di Rumah Selama PPKM Darurat
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.