Menikah adalah merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah.
Pernikahan pun dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang memiliki kemampuan untuk membina rumah tangga, serta tak dapat menahan dirinya dari hal-hal yang dapat menjerumuskan dirinya dari perbuatan zina.
Kemudian dalam pelaksanaan nikah tersebut ada pertanyaan apakah benar pengucapan ijab qabul wajib diucapkan dalam satu kali nafas diawal saja?
Ustadz Ammi Nur Baits dari konsultasi syariah menjelaskan, bahwa ijab qabul harus dilakukan dalam satu majlis. Dalam arti antara ijab dan qabul dilakukan dalam konteks dan keadaan yang sama.
Misalkan di rumah, sang wali mengatakan kepada suami ; "Saya nikahkan anda dengan putriku, fulanah binti fulan ..." kemudian mereka berpisah. Lalu ketika bertemu di tempat lain si suami menjawab ; "Saya terima nikah putri bapak ...", akad semacam ini dianggap tidak sah.
Sebagaimana dalam kitab fiqih 4 madzhab dikatakan,
: :
”Para ulama 4 madzhab sepakat ijab qabul harus dilakukan dalam satu majlis akad. Sehingga andaikan wali mengatakan, ’Saya nikahkan kamu dengan putriku’ lalu mereka berpisah sebelum suami mengatakan, ’Aku terima’. Kemudian di majlis yang lain atau di tempat lain, dia baru menyatakan menerima, ijab qabul ini tidak sah.” (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, 4/16).
Namun ada pula ulama yang berbeda pendapat tentang hukum al-faur (bersegera dalam menyampaikan qabul), maksudnya yaitu menyampaikan qabul tepat setelah ijab tanpa ada jeda (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, 4/16)
Ulama Syafiiyah dan Malikiyah berpendapat, harus segera (’ala al-Faur) dan tidak boleh ada pemisah, selain jeda ringan yang tidak sampai dianggap pemisah antara ijab dan qabul.
”Syafiiyah dan Malikiyah mempersyaratkan harus segera. Namun tidak masalah jika ada pemisah ringan, yang tidak sampai dianggap telah memutus sikap ’segera’ dalam menyampaikan qabul.” (al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, 4/16).
Karena itu, sebagian ulama syafiiyah melarang, ketika antara ijab dan qabul diselingi dengan ucapan apapun yang tidak ada hubungannya dengan akad nikah.
: : : ( ) : . ( ) . .
”Jika antara ijab dan qabul dipisahkan dengan membaca hamdalah dan shalawat, misalnya, seorang wali mengatakan, ’Saya nikahkan kamu.’ Kemudian suami mengucapkan, ‘Bismillah wal hamdu lillah, was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, Saya terima nikahnya.’
Dalam kasus ini ada dua pendapat ulama, (pertama) Nikah sah. Dan ini pendapat Syaikh Abu Hamid al-Isfirayini. Karena bacaan hamdalah dan shalawat disyariatkan ketika akad, sehingga tidak menghalangi keabsahannya. Sebagaimana orang yang melakukan tayamum di sela-sela antara dua shalat yang dijamak. (kedua) tidak sah. Karena dia memisahkan antara ijab dan qabul, sehingga akad nikah tidak sah.” (Fikih Sunah, Sayid Sabiq, 2/35).
Memahami keterangan di atas, sejatinya tidak ada keterangan ijab qabul harus satu nafas. Yang ada adalah harus satu majlis dan harus bersambung, menurut pendapat Syafiiyah dan Malikiyah. Meskipun boleh ada pemisah ringan, selama tidak sampai keluar dari sikap ’segera’.
Menurut ulama Hambali dan Hanafi, boleh tidak bersambung
Seperti misal, jika dalam kasus akad nikah ada gangguan sound sistem, kemudian ketika sang suami hendak mengucapkan qabul, tiba-tiba dia harus memperbaiki mikrofonnya, beberapa saat kemudian dia mengucapkan qabul, akad nikah tetap dinilai sah.
Imam Ibnu Qudamah – ulama hambali – mengatakan,
“Apabila kalimat qabul tidak langsung disampaikan setelah ijab, akad tetap sah. Selama masih dalam satu majlis, dan mereka tidak menyibukkan diri sehingga tidak lagi membicarakan akad. Karena hukum satu majlis adalah hukum yang sesuai konteks akad.” (al-Mughni, 7/81).
Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat dari Imam Ahmad,
: . : . : . : .
Abu Thalib menukil dari Imam Ahmad, bahwa beliau ditanya, Ada seseorang (si A) yang didatangi sekelompok rekannya. Gerombolan ini mengatakan, ‘Nikahkan si B (dengan putrimu).’ Kemudian si A mengatajan, ‘Aku nikahkan si B dengan putriku, dengan mahar 1000 dirham.’ Kemudian gerombolan inipun segera menyampaikan kepada si B bahwa si A telah menikahkannya dengan putrinya. Lalu si B menjawab, ’Saya terima nikahnya.’
”Apakah akad nikah semacam ini sah?” jawab Imam Ahmad, ”Ya, sah.” (al-Mughni, 7/81).
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.