JEMBER, KOMPAS.TV - Bupati Jember Faida angkat bicara terkait pemakzulan dirinya dari jabatan oleh DPRD Jember. Bupati menegaskan, pemakzulan dirinya adalah cacat hukum.
Hal tersebut disampaikan Bupati Jember Faida saat menghadiri pengajian rutin malam Jumat manis di Pendopo Bupati pada Kamis (23/7/2020) malam.
Bupati mengaku tidak terganggu dengan pemakzulan oleh DPRD Jember. Dia tetap bekerja seperti biasanya, karena menurutnya, memberhentikan bupati bukan perkara gampang.
"Prosedurnya panjang. Bupati dipilih langsung oleh rakyat," ujarnya, Kamis (23/7/2020).
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini adalah pendidikan politik untuk mendewasakan warga Jember. Dia sendiri dan keluarga tidak merisaukan pemakzulan tersebut.
Saat ini, Faida mengaku masih menunggu apakah DPRD serius menyampaikan hasil sidang paripurna Hak Menyatakan Pendapat ke Mahkamah Agung atau tidak.
Jika disampaikan ke MA, maka Faida mengaku siap untuk mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
Namun Faida yakin pemakzulan tersebut cacat hukum, karena telah melanggar Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2018. Dalam aturan tersebut, DPRD harus melampirkan alasan sidang paripurna Hak Menyatakan Pendapat yang berujung pemakzulan tersebut.
Namun dalam surat yang diterimanya, Faida mengaku tidak ada alasan digelarnya sidang paripurna tersebut, sehingga bupati tidak memiliki pedoman.
Faida mengaku, sebenarnya ingin mengikuti sidang tersebut secara virtual karena situasi masih pandemi Covid-19, namun ditolak. Faida juga tidak dapat hadir, karena ingin menghindari bentrok warga yang pro dan kontra HMP.
Rabu 22 Juli kemarin, sebanyak tujuh fraksi DPRD Jember menyepakati pemakzulan bupati Jember dalam sidang paripurna.
Sebanyak 45 anggota DPRD sepakat melakukan pemakzulan karena menganggap bupati telah melanggar sumpah jabatan, yakni menyalahi tata kelola pemerintahan dan keuangan.
Pada sidang paripurna Hak Menyatakan Pendapat (HMP) yang digelar pada Rabu (22/7/2020), seluruh fraksi yang ada di DPRD Jember sepakat memakzulkan Bupati Faida.
Saat sidang paripurna, Faida hanya memberikan jawaban tertulis sebanyak 21 halaman yang dikirimkan pada DPRD Jember. Namun anggota DPRD Jember sepakat tak membacakan jawaban tertulis itu di sidang paripurna.
Menurut Ketua DPRD Jember Itqon Syauqi, DPRD sudah tak menginginkan keberadaan Bupati Faida karena hak interpelasi dan hak angket yang digunakan DPRD Jember tak digubris. Ia menyebut DPRD Jember menganggap bupati telah melanggar sumpah jabatan.
Itqon menjelaskan, DPRD Jember hanya bisa memakzulkan bupati secara politik karena lembaga yang bisa memecat bupati secara sah hanya Kementerian Dalam Negeri Melalui fatwa Mahkamah Agung.
Berawal dari Hak Interpelasi
Konflik antara DPRD Jember dan Bupati Faida diawali saat DPRD Jember menggunakan hak interpelasi pada 27 Desember 2019 lalu.
Satu hari sebelum sidang digelar, Bupati Faida melayangkan surat untuk meminta sidang paripurna dijadwal ulang. Alasannya, Jember sedang KLB Hepatitis A sejak 26 Desember 2019. Selain itu Faida juga beralasan, sudah memiliki jadwal bersama masyarakat yang tak bisa ditunda hingga 31 Desember 2019.
DPRD Jember menilai alasan tersebut sengaja dibuat-buat dan dianggap melecehkan dewan.
Terkait pemanggilan tersebut, Hamim, juru bicara Fraksi Partai Nasdem mengatakan Bupati Jember telah melakukan pelanggaran serius terhadap perundang-undangan yang berlaku.
Hamim menyebut kebijakan bupati yang mengubah Perbup KSOTK (Kedudukan, Susunan Organisasi Tata Kerja) tanpa mengindahkan ketentuan yang ada telah menyebabkan Jember tidak mendapatkan kuota CPNS dan P3K Tahun 2019.
Kebijakan tersebut juga membuat Kabupaten Jember terancam tak mendapatkan jatah kuota PNS pada tahun 2020. Hal tersebut juga membuat masyarakat Jember serta tenaga honorer atau non-PNS Pemkab Jember merasa dirugikan.
Alasan lainnya adalah sejak tahun 2015, Bupati Faida telah melakukan mutasi ASN dengan menerbitkan 15 SK Bupati. Oleh Mendagri, mutasi tersebut dinilai telah melanggar sistem merit dan peraturan perundang-undangan.
Saat itu Mendagri dan Gubernur Jatim meminta bupati untuk mencabut 15 SK mutasi tersebut. Bupati Jember juga diminta untuk mengembalikan posisi jabatan seperti kondisi per Januari 2018. Namun hal tersebut tetap dibiarkan meskipun sudah melakukan mediasi lebih dari lima kali.
“Sampai dengan saat ini Bupati Jember tidak mematuhi rekomendasi tersebut dan justru mengulang-ulang kesalahan yang sama dengan melakukan mutasi ASN berturut-turut,” papar Hamim, seperti dilansir Kompas.com, Jumat (24/7/2020).
“Saudari bupati Jember telah menyakiti hati 2,6 juta rakyat Jember dengan penetapan opini hasil pemeriksaan BPK dengan predikat disclaimer,” tegas dia.
Predikat tersebut berarti penilaian kinerja bupati dan jajarannya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melakukan tata kelola keuangan daerah.
Tiga bulan kemudian, 20 Maret 2020, DPRD Jember kembali menggunakan hak konstitusinya yakni hak angket. Namun Bupati Faida lagi-lagi tak pernah menghadiri panggilan panitia khusus hak angket walaupun sudah ada tiga kali panggilan dari DPRD Jember.
Bahkan kala itu, Bupati Faida memerintahkan semua OPD tak menghadiri undangan Panitia Angket.
Konflik semakin meluas saat panitia hak angket DPRD Jember menemukan dugaan penyalahgunaan proyek pengadaan barang dan saja serta karut marutnya birokrasi.
Saat itu, Pemprov Jawa Timur dan Mendagri sempat berupaya mendamaikan Faida dan DPRD Jember.
Namun rekomndasi yang diberikan tak dijalankan sesuai harapan. Konflik pun terus bergulir hingga DPRD sepakat memakzulkan Bupati Faida pada Rabu (22/7/2020).
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.