Karena kepemilikan wilayah agraria ini terbilang ada dua pihak, yakni antara pemerintah dalam hal ini Perhutani dengan masyarakat setempat yang berbeda-beda pemiliknya.
Selanjutnya baru pada tahapan edukasi kepada petani dan anak-anaknya.
Mereka ini harus diedukasi agar bersedia menanam pepohonan yang keras (besar) yang mampu menjadi peresap dan pembendung air.
“Edukasi ini memang butuh lama. Tidak cepat dan instan. Perubahannya relatif lama tapi pasti,” tutur Basuki.
Idenya sederhana, lanjut Basuki, “Mari kita sama-sama mencoba merawat wilayah-wilayah yang gundul tadi dengan cara menanam tanaman keras,”
Nah, konotasi tanaman keras ini, kata Basuki, petani menginginkan tanaman yang juga menghasilkan buah-buahan.
Buahnya itu untuk dijual sebagai pendapatan para petani.
Teknis penanamannya, Basuki menambahkan, bisa dicoba dengan jarak yang tidak terlalu rapat dengan tanaman sayur-mayur.
Sebab, jika jaraknya terlalu rapat bisa mematikan tanaman produktif pertanian mereka itu.
“Kalau dihitung ya jaraknya bisa sektiar 40-50 meter antara tanaman pertanian dengan pepohonan keras,” ungkap Basuki.
Jarak segitu jika dilakukan, Basuki melanjutkan, satu hektar bisa dapat seratus meter.
Namun demikian, mengatasi hal itu tak bisa sendirian.
Tapi harus bersama-sama dengan berbagai pihak untuk saling bersinergi.
“Ada kebutuhan lingkungan yang harus dipenuhi, tapi sisi lain ada juga kebutuhan yang tidak bisa diabaikan sama sekali,” kata Basuki.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.