JAKARTA, KOMPAS.TV - Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala mengatakan detail yang disampaikan polisi terkait satu keluarga diduga melompat dari sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara pada Sabtu (9/3/2024) lalu, menunjukkan kemantapan hati keempat korban untuk melakukan upaya bunuh diri.
Sebelumnya Kapolsek Metro Penjaringan Kompol Agus Ady Wijaya mengungkapkan detik-detik empat orang dalam satu keluarga lompat dari lantai 22 sebuah gedung apartemen di Penjaringan pada Sabtu lalu sekira pukul 16.15 WIB.
Satu keluarga tersebut terdiri atas ayah berinisial EA (51), ibu AEL (50), dan dua anaknya yang berusia remaja yakni perempuan berinisial JL (15) dan laki-laki JWA (13).
Menurut polisi, setelah tiba di apartemen, keempat anggota keluarga itu bergegas menuju lift untuk naik ke rooftop. Sebelum lompat bersama-sama, EA sempat mencium kening istri dan dua anaknya.
Baca Juga: Pakar Nilai Ada Unsur Pidana di Kasus Sekeluarga Lompat dari Apartemen: Kedua Anak Korban Pembunuhan
Selain itu, AEL sempat mengumpulkan handphone (HP) sang suami dan kedua anaknya.
"Terekam CCTV, di dalam lift EA mencium-cium kening dari ketiga orang lainnya. Setelah dicium-cium keningnya, AEL terlihat mengumpulkan handphone-handphone dari semuanya untuk naik ke atas," ujar Agus, Minggu (10/3/2024).
Adrianus mengatakan kemantapan hati untuk melakukan bunuh diri tampak dari waktu yang dibutuhkan keluarga tersebut dari mulai masuk lobi apartemen hingga jatuh, yakni 10 menit.
Sikap ibu yang mengumpulkan HP, menurut dia, juga mengindikasikan keseriusan dalam menjalankan upaya bunuh diri.
“Jadi kelihatan kalau keluarga ini sudah deterministik ya, sudah mantap dalam rangka bertindak,” kata Adrianus dalam dialog Kompas Petang KOMPAS TV, Selasa (12/3/2024).
“Termasuk, mengumpulkan HP, mengikat diri, itu juga bagian yang menurut saya bagian dari upaya untuk segera membunuh diri,” sambungnya.
Baca Juga: Psikolog Buka Suara soal Sekeluarga Bunuh Diri Lompat dari Lantai 22 Apartemen Penjaringan
Empat orang itu, menurut polisi, melompat bersama-sama juga dalam kondisi tangan yang terikat.
Adrianus berpendapat, hal itu simbol bahwa mereka saling terikat atau bonding to each other.
Dia menambahkan, mengikatkan tangan juga dapat diartikan sebagai upaya pencegahan apabila anak dari keluarga tersebut ragu untuk melompat, maka ia akan tetap terseret karena beban ayah dan ibu yang sudah lompat.
“Jadi dipastikan bahwa dengan saling mengikat itu, misalnya anak agak ragu-ragu, bisa terdorong oleh berat badan bapak atau ibunya,” jelasnya.
Artikel ini tidak bertujuan untuk mempromosikan perilaku bunuh diri.
Apabila Anda saat ini mengalami depresi atau keinginan bunuh diri, jangan putus asa. Depresi dan gangguan kejiwaan dapat pulih dengan bantuan profesional kesehatan mental.
Temukan informasi mengenai bagaimana menjaga kesehatan mental dan menghubungi layanan profesional di laman Pencegahan Bunuh Diri Into The Light Indonesia di www.intothelightid.org/tentang-bunuh-diri.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.