PEMATANG SIANTAR, KOMPAS.TV - Mantan Wali Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, Robert Edison (RE) Siahaan, menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) total senilai Rp45.250.000.000.
Gugatan tersebut diajukan di Pengadilan Negeri Pematang Siantar dan terdaftar dalam perkara No:73/Pdt.G/2023/PN-Pms pada 20 Juli 2023.
Selain KPK sebagai tergugat I, terdapat tergugat lainnya yakni Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai tergugat II, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai tergugat III, dan pemenang lelang yakni ahli waris Almarhum Esron Samosir selaku tergugat IV.
RE Siahaan menuntut rumah di atas tanah miliknya diganti rugi secara tanggung renteng dengan total kerugian materil dan immateril senilai Rp 45.250.000.000.
Sidang perdana perkara tersebut digelar Rabu (23/8/2023) dengan agenda pemeriksaan para pihak, namun tidak dihadiri pihak tergugat I, III, dan IV.
Baca Juga: Absen Mediasi, Panji Gumilang Lewat Kuasa Hukumnya Cabut Gugatan Rp 1 Triliun!
Majelis yang memimpin sidang perkara itu adalah Renni Pitua Ambarita sebagai Ketua Majelis Hakim dan hakim anggota Nasfi Firdaus serta Katarina Siagian.
Selanjutnya, sidang kedua pada Rabu (6/9/2023), tergugat IV kembali mangkir dari panggilan sidang.
Penggugat RE Siahaan hadir dalam persidangan didampingi istrinya Elfrida Dorowati Hutapea.
Ketua majelis hakim akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sidang pada 20 September 2023.
"Hari ini masih agenda pemeriksaan para pihak dan ternyata yang enggak lengkap itu tergugat IV. Tergugat empat tidak hadir," ujar Daulat Sihombing, kuasa hukum RE Siahaan usai persidangan di PN Pematang Siantar, Rabu.
"Hakim memverifikasi panggilan, ternyata sudah dilayangkan surat ke alamat yang baru. Namun, tergugat IV tidak hadir. Jadi masih ada kesempatan lagi untuk dipanggil," ucapnya, dikutip Kompas.com.
Perkara itu berawal saat RE Siahaan menjabat sebagai Wali Kota Pematang Siantar periode 2005-2010 dan menjadi tervonis kasus korupsi pengelolaan bantuan sosial Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pematang Siantar Tahun Anggaran 2007 sebesar Rp 10,5 miliar.
Dalam sidang yang dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Sumut, pada Selasa (6/3/2012), majelis hakim menjatuhkan vonis pidana penjara selama delapan tahun untuk RE.
Hakim berpendapat, RE Siahaan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Selain pidana penjara, ia juga wajib membayar denda sebesar Rp 100 juta dengan subsider kurungan selama empat bulan, serta wajib membayar uang pengganti (UP) Rp 7.710.631.000 dalam tempo satu bulan.
Jika tidak dibayar dan harta benda tidak mencukupi untuk membayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 4 tahun.
"RE tidak memiliki cukup harta untuk membayar UP dan akhirnya harus menjalani hukuman tambahan empat tahun. Sehingga dia harus menjalani hukuman dua belas tahun," kata Daulat.
Meski sudah menjalani hukuman tambahan, RE Siahaan dan keluarganya terpaksa kehilangan rumah di atas tanah seluas 702 meter persegi di Jalan Sutomo No 10, Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat, Kota Pematang Siantar.
Rumah warisan yang semula milik orangtua dari istri RE Siahaan, Elfrida Dorowati Hutapea, dimiliki oleh mereka sejak 1993, kemudian diganti dengan SHM No.302 tahun 2004 atas nama RE Siahaan.
Saat RE Siahaan menjalani hukuman, KPK menerbitkan surat perintah penyitaan dalam rangka eksekusi pembayaran UP pada tanggal 29 Mei 2015.
Kemudian pada 2016, KPK membuat surat pemberitahuan pelaksanaan lelang dan pengosongan barang sitaan.
Pengumuman lelang turut dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Pematang Siantar pada, 29 April 2016.
Adapun pemenang lelang rumah tersebut yakni Esron Samosir dengan nilai pembelian hasil lelang sebesar Rp 6.031.535.000.
Pihak Pengadilan Negeri (PN) Pematang Siantar pun melaksanakan eksekusi rumah tersebut pada Jumat 30 Desember 2016.
Lalu, BPN Pematang Siantar menerbitkan Surat SK pendaftaran tanah No:35/SKPT/2016 dan menerbitkan sertifikat pengganti atas permintaan pemenang lelang.
Setelah itu, rumah RE Siahaan dihancurkan dan kini dibangun menjadi empat rumah toko berlantai tiga.
"Rumah dan tanah itu sudah atas nama RE Siahaan. Sertifikat aslinya masih dipegang," kata Daulat.
Menurut Daulat, eksekusi dan penyitaan rumah oleh KPK itu tidak sesuai dengan putusan pengadilan Tipikor Medan.
Sebab, tanah dan bangunan itu bukan merupakan barang sitaan atau rampasan dari hasil penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Apalagi obyek putusan pengadilan.
"Gugatan ini bukan persoalan harta warisan, tapi KPK melakukan perampasan rumah di atas tanah itu dengan surat perampasan mengutip amar putusan yang berbeda," tuturnya.
"Isi tentang putusan pengadilan berbeda dengan amar putusan yang sebenarnya.Jadi ada redaksi yang berbeda," tambahnya.
Menurut Daulat, yang disebut barang rampasan itu harus termaktub dalam proses penuntutan, penyidikan, dan peradilan.
Sementara rumah dan tanah itu tidak masuk dalam ranah yang dimaksudkan.
Ditemui usai persidangan, perwakilan KPK bernama Togi menyarankan awak media menghubungi Juru Bicara KPK.
Baca Juga: PPP Imbau MK Segera Putuskan Gugatan Usia Capres-Cawapres
Sebagai pihak tergugat, kata Togi, KPK memastikan akan terus menghadiri persidangan. Namun, pihaknya juga menyampaikan ada kendala terhadap penjadwalan sidang.
"Kita akan memenuhi panggilan, tentu kita persiapkan segala macam hal dan secara detail akan disampaikan juru bicara KPK. Tugas kami hanya menghadiri persidangan," ucapnya kepada wartawan.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.