Ahnaf menganalogikan hal itu dengan sekolah. Ia beranggapan bahwa cukup banyak orang pintar di luar sana, tetapi biasanya yang memiliki ijazah atau sertifikat lebih dipilih oleh pemberi kerja.
“Paling tidak, yang satu pandai dan yang satu tidak begitu pandai misalnya, tapi yang satu sudah bersertifikat misalnya, paling tidak secara legalitasnya, secara attitude dia sudah melewati tahapan itu.”
“Mungkin orang yang pandai tapi tidak sekolah banyak sekali, tapi biasanya yang akan diambil secara legalitasnya adalah yang walaupun tidak pandai banget tapi dia ada legalitasnya, ada ijazahnya, gitu kan,” urainya.
Di awal pelaksanaan wisuda sebagai event wisata, jumlah penari Lengger yang mengikuti wisuda mencapai kurang lebih 60 orang.
Namun, mulai tahun ini panitia membatasi jumlah peserta wisuda hanya maksimal 20 orang. Pertimbangannya adalah tidak setiap tahun ada penari Lengger baru.
Jika tidak dibatasi, ada kekhawatiran di tahun-tahun berikutnya kegiatan Wisuda Lengger ini akan terhenti karena tidak adanya penari yang siap wisuda.
Meski pelaksanaan event wisata ini di Desa Giyanti, namun ada harapan bahwa kegiatan tersebut bisa menjadi event tingkat kabupaten atau provinsi, bahkan nasional.
Terlebih pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo sangat mendukung pelaksanaan kegiatan Wisuda Lengger tersebut.
“Jadi kita inginnya ini jadi event kabupaten. Harapan kita, event ini, karena di kabupaten lain tidak ada, ya nantinya paling tidak provinsi atau nasional targetnya. Dari pemerintah kabupaten juga mensupport untuk kegiatan ini,” imbuh pria yang juga merupakan Ketua karang Taruna tersebut.
Filosofi Wisuda Lengger
Seperti pada umumnya kegiatan tradisi dan budaya, Wisuda Lengger pun memiliki filosofi terpendam.
Salah satunya adalah pada kegiatan melarung uba rampe yang melambangkan membuang hal buruk dalam diri penari agar terbuang jauh.
Menurut Ahnaf, melarung semacam sesaji tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan oleh penduduk, baik di gunung maupun di pesisir.
Bagi warga pesisir, biasanya mereka melarung sesaji di lautan lepas, sementara untuk mereka yang tinggal di pegunungan, biasanya melariung di tempuran sungai atau titik pertemuan dua sungai.
“Jadi kita menyucikan diri, biasanya kita melarung untuk perlambang membuang sesuatu yang buruk,” katanya.
“Kita sebetulnya dialirkan di sungai, biar hilang jauh, tapi di sini sungainya jauh, harusnya di tempuran, pertemuan antara sungai satu dan sungai lain,” tambahnya.
Pelaksanaan larungan pada ritual Wisuda Lengger tidak dilakukan di sungai dengan pertimbangan lokasi tempuran yang cukup jauh dan dikhawatirkan akan memakan banyak waktu.
Sebagai penggantinya, larung dilakukan di kolam yang bersumber dari mata air di desa itu.
“Jadi kita ambil alternatif lain, yang penting di situ ada air bersih, dan itu tadi kan di kolam itu kan sumbernya dari mata air, dan itu memang mata air itu sumber penghidupan masyarakat sini.”
Tradisi dan pakaian adat masyarakat setempat yang mirip dengan tradisi Keraton Mataram, kata Ahnaf, bukan karena mereka meniru-niru, melainkan karena memang sekitar 30 persen warga dusun itu masih keturunan Tumenggung Mertoloyo.
“Di sini Dusun Giyanti, Desa Kadipaten. Sebanyak 30 persen warga di sini masih trah dari Mataram dari Hamengkubuwono I, tepatnya dari Trah Tumenggung Mertoloyo IV, beranak pinak di sini.”
“Kita masuk ke manajemen keraton juga ada, nama kita memang terdaftar di sana,” tambahnya.
Bahkan warga setempat juga rutin melaksanakan peringatan Rakanan Suro Desa Giyanti yang merupakan pengingat bahwa mereka merupakan keturunan Tumenggung Mertoloyo.
Kegiatan itu dilakukan rutin setiap Bulan Suro atau Muharam di Hari Jumat Kliwon, dengan berziarah ke Makam Mertoloyo.
"Untuk kegiatan yang ke makam Mertoloyo itu di bulan Juli itu, tanggal 28 besok. Kita ambil ulang tahunnya sejak tahun 1755, perjanjian Giyanti.”
“Wisuda Lengger ini biasanya bareng sama Rakanan Suro, Bulan Suro. Kalau di Suro kan kita di Jumat Kliwon, tidak boleh tidak,” tegasnya.
Pihaknya sengaja memisahkan event Wisuda Lengger dengan Rakanan Suro, dengan tujuan agar Wisuda Lengger bisa besar dan banyak didatangi oleh wisatawan.
Terlebih untuk event Wisuda Lengger, menurutnya waktu pelaksanaannya bisa menyesuaikan, berbeda dengan Rakanan Suro.
“Kenapa kita pisah? Supaya kita eventnya bisa ngambil di weekend, jadi teman-teman dari luar kota bisa hadir. Coba kalau diadakan Jumat atau Kamis, belum tentu bisa hadir,” ujarnya
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.