YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Puluhan santri Pondok Pesantren Darul Ahsom baru saja selesai menunaikan ibadah salat Asar di musala pesantren, Rabu (5/4/2023). Tak banyak suara terdengar di situ, hanya gemeretak kipas angin yang berputar di bagian depan ruangan.
Satu per satu mereka berdiri, melangkah dan mengambil meja kecil tempat mereka membaca dan menghafalkan Al-Qur'an.
Lantai musala yang terbuat dari papan sesekali bergoyang dan mengeluarkan suara gesekan, saat mereka berjalan ke tempat penyimpanan meja.
Sama seperti sebelumnya, tidak ada suara bercakap saat mereka menata meja, hanya isyarat jari satu sama lain.
Meja-meja itu tersusun berderet, terbagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah lima hingga delapan santri.
Masing-masing santri membuka mushaf Al-Qur'an, sesuai dengan halaman yang sedang mereka hafalkan.
Salah satu santri kemudian membawa sebuah meja kecil ke hadapan pendiri pondok pesantren, Ustadz Abu Kahfi (49), lalu kembali ke tempat duduknya.
Dengan isyarat tangan, Ustaz Abu Kahfi memanggil salah satu santri untuk maju dan duduk di hadapannya.
Sesekali jemarinya mengelus jenggot panjangnya yang sebagian sudah memutih.
Keduanya saling berhadapan, dan berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Lalu, santri berusia remaja itu membuka mushaf Al-Qur'an, dan mulai menyetor hafalannya.
Sama seperti santri lain, tidak ada suara yang terdengar dari bibirnya. Hanya gerakan jemarinya yang lincah dan tatapan mata tertuju pada mushaf Al-Qur'an.
Begitulah suasana rutin di Pondok Pesantren Darul Ahsom di Jl Sumatera, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, yang merupakan pondok pesantren bagi difabel tuli atau tunarungu.
Pondok pesantren khusus tunarungu tersebut berdiri pada 19 September 2019 di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Awalnya di Bantul, tapi perjalanan sebelum berdirinya pondok ini panjang juga, sebelumnya di Bandung,” kata Ustaz Abu Kahfi sebelum menguji hafalan Al-Qur'an untuk para santrinya.
Awalnya, sekitar sepuluh tahun sebelumnya, saat masih tinggal di Bandung, Jawa Barat, ia merasa risau melihat sejumlah difabel tuli yang pengetahuan agamanya sangat kurang, bahkan beberapa tidak mengenal ilmu agama sama sekali.
Berangkat dari kerisauan itu, ia pun mulai mendatangi sejumlah difabel tuli, baik perorangan maupun kelompok.
Pada tahap awal, ia mengajak tiga difabel untuk turut belajar beladiri silat di pondoknya, karena saat itu ia sama sekali belum bisa bahasa isyarat.
Keterbatasannya dalam berbahasa isyarat menjadi tantangan pertama bagi Ustaz Abu Kahfi dalam mengajarkan ilmu agama.
Ia pun mulai memelajari bahasa isyarat setelah mulai mengajarkan pencak silat pada tiga tunarungu yang dikenalnya.
“Sebulan, saya bisa komunikasi dengan mereka, sebulan bisa buka taklim di rumah, mengundang mereka (belajar membaca Al-Qur'an).”
“Saya pertama kali itu mengajak tiga tunarungu ke pondok saya untuk ikut latihan silat, bukan ngaji, karena memang belum bisa apa-apa. Sebulan kemudian, yang latihan silat jadi delapan orang,” kenangnya.
Ustaz Abu Kahfi merasa Allah memberikan kemudahan untuknya dalam banyak hal, mulai dari belajar bahasa isyarat yang hanya dalam waktu sebulan, mengajar mengaji untuk para tunarungu, hingga mendirikan pondok pesantren.
Terlebih, dalam mendirikan pondok pesantren tersebut, dirinya sama sekali tidak berorientasi pada profit, tetapi murni untuk mengajar mereka mengaji.
“Bahkan sampai sekarang pun saya menghindari, mohon maaf, bikin proposal, minta-minta, kenapa? Karena yang di samping saya, di depan saya, yang kita rangkul itu difabel.”
“Saya murni ingin mengajar mereka, jadi alhamdulillah Allah percepat untuk belajar bahasa isyarat,” tuturnya.
Bahkan, dulu ia sama sekali tidak punya cita-cita atau keinginan untuk mendirikan pondok pesantren, melainkan hanya sekadar mengajarkan ilmu agama.
Kala itu sebagian besar difabel yang dirangkulnya adalah tunarungu usia dewasa atau pascasekolah. Dari situ, kerisauannya meningkat, karena melihat mereka yang berusia dewasa pun pengetahuan agamanya sangat minim.
Ia pun mencoba menggandeng tunarungu usia sekolah, dengan harapan mereka lebih dini mendapatkan pengetahuan agama.
“Sepuluh tahun malang melintang di Bandung bersama mereka, tapi saya menggarap usia pascasekolah.”
“Saya pun berpikiran, alangkah baiknya jika mereka di usia anak-anak, di usia sekolah ini mereka belajar agama,” imbuhnya.
Pada tahun 2019, saat ia memiliki urusan di Semarang, Jawa Tengah, Ustaz Abu Kahfi sempat berkunjung ke Yogyakarta.
Kala itu tiba-tiba terbersit pikiran untuk mengajarkan ilmu agama pada difabel tuli di Yogyakarta dan sekitarnya.
Ia pun mencari rumah kontrakan di Yogyakarta, dan mendapatkan ruko dua lantai di kawasan Srandakan, Kabupaten Bantul.
“Akhirnya nyari kontrakan di Jogja, malah dikasih pinjam setelah dengar saya mau buka madrasah, ngaji anak-anak, taklim, maka ada yang minjemin ruko dua lantai.”
Setelah berjalan satu tahun, jumlah santrinya meningkat menjadi 40 orang, akibatnya, ruko yang dikontraknya tersebut tidak mampu menampung mereka.
Ia lalu kembali mencari lokasi untuk memindahkan pondok pesantrennya tersebut, dan mendapatkan tempat di lokasi saat ini.
“Di sinilah dua tahun setengah berjalan, alhamdulillah santri dan santriwati sekarang sudah 129.”
Saat membuka pondok pesantren, Ustadz Abu Kahfi memang fokus pada pesantren tahfidz atau penghafal Al-Qur'an.
Alasannya, karena para difabel tuli tersebut memiliki hambatan dalam berkomunikasi. Tetapi, mereka tetap bisa menghafalkan Al-Qur'an karena tetap bisa memelajari huruf.
Selama belajar membaca Al-Qur'an, para santri pun diberikan bekal berupa peningkatan kemampuan berbahasa.
Mereka yang kemampuan bahasanya dianggap sudah baik, kemudian dibolehkan mengikuti kelas nontahfidz.
“Jadi kelas di sini sesuai dengan kemampuan, bukan dengan usia,” kata pria kelahiran Ciamis ini.
Metode pembacaan Al-Qur'an menggunakan bahasa isyarat memiliki standar kebenaran, baik panjang pendeknya bacaan maupun harakat atau tanda baca.
Oleh sebab itu, tidak begitu sulit baginya memantau perkembangan bacaan dan hafalan para santri.
Bahkan, metode mengaji menggunakan bahasa isyarat berlaku universal, sehingga di mana pun mereka nanti, gerakan dan bacaan akan sama.
“Untuk tunarungu ini ada standar kebenaran, saya pegang mushaf, dia jalan, kalau dia salah ya diulangi.”
Baca Juga: 1.700 Santri Pesantren Ar Raudlatul Hasanah Medan Gelar Tadarus Massal
“Metode kami ini bukan buatan kita sendiri, tapi ini metode dari arab sana, jadi ngaji begini sudah universal, di negara Arab sudah biasa. Di Indonesia baru dibiasakan,” jelasnya.
Meski menyebut diberikan banyak kemudahan oleh Allah dalam melakukan syiar agama, Ustaz Abu Hanifah mengakui ada sejumlah tantangan yang harus dia hadapi dalam kegiatannya.
“Awalnya lumayan tantangannya, karena ini kan hal yang baru buat saya dan hal yang baru juga buat mereka.”
Selain tantangan berupa keterbatasan bahasa untuk berkomunikasi di awal, mengenalkan agama yang merupakan hal gaib pada mereka juga menjadi tantangan tersendiri.
Para tunarungu yang digandengnya yakin pada sesuatu yang terlihat secara visual, tapi sedikit tidak meyakini hal yang gaib atau tidak terlihat.
“Mereka kan yakin dengan visual, yang tidak visual kan tidak yakin, gimana menerangkannya? Alhamdulillah itu pun sudah dilalui. Saya sudah bisa menerangkan paada mereka,” lanjut Ustadz Abu Kahfi.
Setelah tantangan itu terlewati, muncul tantangan selanjutmya, yakni bagaimana cara meyakinkan para orang tua santri bahwa anak mereka berpotensi untuk belajar di pondok pesantren.
Terlebih saat itu belum ada pondok tunarungu yang berdiri.
Tantangan selanjutnya setelah para orang tua santri yakin pada kemampuan anak mereka, adalah bagaimana mereka diterima oleh masyarakat, bukan hanya universal tapi juga lokal.
“Sekarang mereka universal, belajar di Arab sama, tapi apakah di Indonesia mereka akan diterima?”
“Ini tantangan selanjutnya, bagaimana meyakinkan lingkungan sekitar ini bahwa mereka sama layaknya kita yang umum, hanya metodenya berbeda,” lanjutnya.
Ia berharap, lima atau enam tahun ke depan, sudah ada santri dari pondok pesantrennya yang hafal Al-Qur'an hingga 30 juz.
Tujuannya, agar mereka dapat mengajarkan ilmu yang telah diperoleh pada sesama difabel tuli di daerahnya masing-masing.
“Biar mereka langsung terjun ke masyarakat untuk mengajarkan pada teman tuli lainnya.”
Kini, selain mengjarkan membaca Al-Qur'an dan ilmu agama, pengurus pondok pesantren tersebut juga mengajarkan pencak silat sebagai ilmu beladiri wajib para santri.
Para santri yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Palu, Sulawesi Tengah tersebut juga diajarkan memanah serta berenang.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.