KULON PROGO, KOMPAS.TV – Seorang perempuan di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mencoba mengolah sampah anorganik seperti pecahan kaca menjadi campuran beton dan batako.
Pagi itu, cuaca di Banyunganti Kidul, Kaliagung, Kapanewon (Kecamatan) Sentolo, Kulon Progo, cukup teduh. Gumpalan mendung yang terbawa angin sesekali menutupi cahaya matahari.
Di salah satu rumah, dua anak kecil terlihat memainkan ponselnya sambil berbaring di lantai teras, tepat di depan pintu masuk rumah.
Beberapa konblok dan batako tergeletak di halaman samping rumah. Hanya beberapa belas sentimeter dari batako itu, terdapat satu alat cetak batako manual dengan sisa campuran semen.
Sementara di depan rumah, sejumlah tanaman tumbuh dalam pot, yang sebagian terbuat dari limbah kain perca maupun handuk kecil.
Rumah itu milik Isna Mansuuroh (52), seorang guru di SMKN 1 Pengasih, Kulon Progo, yang sekaligus menjadi sekretariat Bank Sampah Bunda Mandiri.
Dua anak laki-laki yang tadi bermain di depan pintu, sudah berpindah ke dalam rumah.
Isna duduk tepat di tempat kedua anak tadi bermain. Ia mulai menceritakan tentang bank sampah yang dikelolanya sejak tahun 2009 tersebut.
“Saya mulainya (bank sampah) sejak tahun 2009,” kata Isna membuka percakapan. Jumat (30/12/2022).
“Di sini saya selalu menekankan pada warga, paling tidak harus bisa mengatasi masalah (sampah) kita sendiri,” lanjut Ketua Kampung Berseri Astra (KBA) Banyunganti tersebut.
Warga setempat pun disarankan untuk memilah dan memilih sampah sebelum membuangnya. Sampah-sampah anorganik yang telah dikumpulkan, kemudian disetor ke bank sampah.
Sementara sampah organik dikelola sendiri oleh warga, baik menjadi pupuk maupun pakan ternak.
“Kalau dipilah, kan pilahan yang laku jual bisa langsung dijual, kalau langsung buang kan kita malah mikir mau diapakan. Kalau dibakar kan menambah pekerjaan membakar sampah.”
Meski sudah melalui penyortiran secara mandiri oleh warga, tidak seluruh sampah anorganik yang terkumpul di bank sampah bisa langsung dijual.
Sebagian sampah tersebut harus diolah terlebih dahulu, misalnya menjadi kerajinan, seperti vas bunga, tikar, dan beberapa jenis kerajinan lain.
Kerajinan hasil daur ulang sampah tersebut, kemudian dipajang, dengan harapan ketika ada tamu yang berkunjung, mereka tertarik dan memesan kepada bank sampah.
Untuk produksi kerajinan, Isna memberdayakan warga sekitar, misalnya untuk menganyam atau memotong-motong bahan.
Upah untuk hasil kerja mereka pun diberikan langsung, sebab biasanya kerajinan yang diproduksi merupakan pesanan dari koleganya.
Namun, terkadang masih ada juga sampah yang tersisa, Isna menyebutnya sebagai residu.
Awalnya, ia merasa bingung dalam menangani residu-residu tersebut. Contohnya pecahan kaca, styrofoam, dan beberapa jenis sampah lain.
“Nah, residu inilah yang perlu kita pikirkan, mau diapakan. Kita meminimalisir membakar sampah,” ujarnya mengenang.
Seiring berjalannya waktu, Isna menemukan solusi untuk mengelola residu yang sempat membuatnya bingung.
Sampah-sampah dari pecahan kaca dan styrofoam tersebut dijadikannya sebagai bahan untuk campuran bahan bangunan, misalnya batako, konblok, dan campuran untuk pengerasan jalan beton.
Pada tahap awal, Isna mencoba menghancurkan pecahan kaca menggunakan ember. Caranya, pecahan kaca itu dimasukkan ke dalam ember besar, kemudian ditutup dengan karung.
Lalu, ia menghancurkan pecahan kaca itu menggunakan palu berukuran besar.
“Kalau sudah hancur, dicampur dengan pasir dan semen,” ucapnya.
Setelah menemukan cara mengolah residu tersebut, ia semakin yakin seluruh residu sampah dapat didaur ulang, asal ukurannya diperkecil atau dihancurkan.
“Saya prinsipnya begini, pokoknya residu sampah itu asal dibuat kecil (dihancurkan), semuanya dapat dimanfaatkan.”
Dengan mencampurkan residu tersebut ke dalam adonan semen dan pasir, warga dapat menghemat penggunaan pasir hingga separuh dari penggunaan normal.
Hitungannya, jika campuran yang digunakan adalah 1:6 atau satu bagian semen berbanding 6 bagian pasir, maka campuran pasir yang digunakan hanya tiga bagian, sisanya menggunakan residu pecahan kaca atau styrofoam.
Sejak beberapa waktu lalu, KBA Banyunganti sudah memiliki mesin atau alat penghancur sampah anorganik, sehingga mereka tidak perlu menghancurkannya secara manual.
Alat tersebut terbeli setelah pihaknya mendapat bantuan dana corporate social responsibility (CSR) dari Astra.
“Dari Astra kan berupa pendanaan, jadi tidak ditentukan buat apa. Kami gunakan untuk menambah alat, yaitu penghancur sampah anorganik seperti beling dan styrofoam.”
“Kalau pencacah sampah organik, kita sudah punya,” jelasnya.
Saat ini, konblok dan batako yang diproduksi ada dua macam. Pertama, batako yang menggunakan campuran semen dan pasir plus residu, dan yang kedua adalah batako dari campuran pasir dan plastik tanpa semen.
Cara pembuatan kedua jenis batako itu berbeda. Batako berbahan residu dan campuran pasir serta semen dibuat seperti umumnya pembuatan batako.
Sedangkan batako yang berbahan pasir dan plastik tanpa semen, diproduksi dengan cara memanaskan campuran pasir dan plastik, seperti proses pemanasan aspal.
“Jadi, pasir kita panaskan kemudian dicampur dengan plastik tanpa campuran. Setelah plastiknya meleleh, kita aduk sampai rata, lalu dituangkan ke cetakan,” Isna menjelaskan.
Plastik yang digunakan untuk pembuatan batako tanpa semen tersebut tidak bisa menggunakan plastik kemasan makanan ringan yang mengandung timah, tetapi harus plastik murni.
Isna kemudian menyodorkan satu batako berbahan pasir dan plastik yang dilelehkan. Warnanya hitam, berbeda dengan batako biasa yang cenderung abu-abu.
Selain itu, aroma dari batako tersebut sangat tercium bau bekas plastik terbakar.
Meski berbeda bahan, ia menyebut kekuatan serta fungsi dari batako campuran lelehan plastik dan pasir itu sama dengan batako campuran residu.
Batako hasil cetakan mereka bahkan sudah digunakan oleh beberapa warga untuk membangun bangunan, termasuk campuran adonan pengerasan jalan beton.
“Saya lebih menekankan untuk diri sendiri dulu, yang mau membuat siapa, silakan buat untuk diri sendiri.”
Baca Juga: Kisah Trimah, Ibu Difabel yang Membatik dan Merawat Anak dengan Kaki
Meski sudah memiliki peralatan pendukung, Isna belum berniat untuk memproduksi batako campuran residu secara massal.
Ia khawatir pihaknya tidak bisa memenuhi pesanan konsumen, terlebih saat ini untuk memenuhi kebutuhan internal pun dirasa belum mampu.
“Dijual itu kan kalau sudah produksinya berlebih untuk mencukupi kebutuhan sendiri,” tegasnya.
Upaya Isna untuk menangani masalah sampah tidak berhenti di situ. Ia juga mengajak perangkat desa di wilayahnya untuk membentuk TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle).
Salah satu tujuannya adalah untuk meminimalkan pembakaran sampah, dan sebisa mungkin sampah tidak perlu sampai ke tempat pembuangan akhir.
“Kami juga mengajak perangkat desa untuk membuat TPS3R, supaya tidak ada pembakaran, dan kalau bisa tidak perlu membuang ke TPA, kita upayakan tuntas di situ,” jelasnya.
Usulan pendirian TPS3R tersebut sudah dilakukannya sejak tahun 2013 lalu, sebab setiap desa diperbolehkan mendirikan TPS3R.
Namun, TPS3R itu baru terbentuk pada akhir tahun ini, dan akan mulai beroperasi pada awal Januari 2023.
TPS3R berbeda dengan bank sampah. Salah satu perbedaan yang paling nyata adalah nasabah bank sampah menerima uang saat menyetorkan sampah.
Sedangkan pada TPS3R, pihak PTS3R yang menjemput bola untuk mengambil sampah ke rumah warga sehingga warga dikenakan uang jasa.
“Karena ada jasa penjemputan dan yang dibuang kebanyakan adalah residu sampah, jadi ada tarif di situ. Kalau bank sampah nasabahnya mendapat uang, kalau TPS3R itu nasabah yang membayar,” tuturnya.
Nantinya, sampah yang dikumpulkan TPS3R pun akan diolah untuk meminimalkan sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir, termasuk mengolahnya menjadi batako dan campuran beton.
“Bahkan nanti rencananya kita akan membuat residu sampah untuk pengerasan jalan di TPS3R, kan depannya belum dikeraskan.”
Saat ini, sejumlah peralatan telah siap untuk mengoperasikan TPS3R tersebut, di antaranya mesin pencacah dan pengayak sampah, mesin penghancur kaca dan styrofoam, bahkan alat destilasi untuk mengubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM).
“Kita juga ada mesin destilasi untuk mengubah sampah plastik menjadi BBM, meskipun secara ekonomis tidak masuk, tapi paling tidak, bisa untuk pembelajaran,” jelasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.