Ia mencontohkan, untuk jasa jahit, Olin menggunakan sistem beli putus, yakni membayar langsung perempuan penjahit yang jasanya ia gunakan.
“Kalau misalnya menjahit, kami beli putus, jadi nggak nunggu produknya terjual dulu. Harganya pun bisa dibilang penjahitannya di atas rata-rata yang kami bayarkan ke ibu-ibunya.”
“Ini karena kami kegiatan kepeloporan juga, jadi harus berani bergerak dulu. Ibaratnya memberikan bukti,” tuturnya.
Jika melihat sekilas, warna dan motif fesyen yang diproduksi oleh Olin tampak sederhana. Namun, proses pewarnaannya tak sesederhana yang terlihat.
Olin setidaknya membutuhkan waktu sekitar empat hari untuk proses pewarnaan. Itu di luar proses penjahitan.
Untuk membuat produk eco print, ia menggunakan kain katun yang telah dibersihkan dari bahan-bahan kimia.
Kemudian, ia meletakkan dedaunan atau bahan alami lain pada kain tersebut untuk memberikan motif dan warna.
“Selanjutnya kita tata, kemudian kita gulung, kemudian kita ikat, dan direbus. Nanti akan muncul motifnya.”
Proses pewarnaan tidak berhenti sampai di situ. Setelah selesai proses perebusan atau pengukusan, kain yang telah bermotif itu dijemur selama beberapa hari.
Selanjutnya, agar warna yang ada tidak mudah luntur, Olin melakukan proses fiksasi dengan tawas atau tunjung.
Tawas digunakan jika ia ingin memberikan warna yang lebih cerah, sementara tunjung dipakai untuk memberi kesan agak gelap.
“Jadi ada perbedaan antara bahan yang digunakan untuk eco print dengan bahan untuk membuat pewarna pakaian. Tidak semua yang bisa digunakan untuk eco print bisa jadi pewarna,” Olin menjelaskan.
Untuk pembuatan pewarna pakaian alami, Olin menggunakan beberapa bahan. Salah satunya adalah kulit pisang kepok.
Proses pembuatan pewarna pakaian sedikit lebih sederhana, yakni cukup merebus bahan yang akan digunakan.
Setelah itu, kain yang hendak diwarnai tinggal dicelupkan ke dalam air hasil rebusan bahan-bahan tadi.
Namun, karena menggunakan bahan alami, warna yang dihasilkan tidak bisa setebal pewarna kimia, sehingga untuk penggunaannya harus mencelup beberapa kali.
“Kalau pewarna alam, itu cukup direbus saja, ada takarannya tersendiri. Nanti tinggal kain yang sudah diproses, dicelupkan dan dikeringkan.”
“Ada beberapa proses karena warnanya itu tipis sekali. Jadi beberapa kali pencelupan agar warnanya jadi tebal,” kata Olin.
Saat ini, hasil produksinya baru dipasarkan pada teman dan keluarganya saja, termasuk melalui sejumlah media sosialnya.
Ia mematok harga mulai Rp10 ribu untuk produk ikat rambut, hingga Rp1,1 juta untuk pakaian wanita.
“Kami kan baru jalan empat bulan, jadi pemasarannya masih pada keluarga, teman, dan (lewat) sosial media,” tuturnya.
Olin juga mengaku tidak berniat untuk memproduksi secara massal, dengan pertimbangan menjaga kelestarian alam.
Ia khawatir jika memroduksi secara massal, niat yang tadinya untuk membuat pewarna ramah lingkungan justru akan menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Jangan sampai nantinya malah merusak alam. Makanya, selain mengambil dari alam, saya juga menanam sendiri bahan-bahannya,” terangnya.
Olin berharap, ke depannya, ada perhatian khusus dari pemerintah daerah setempat, agar desa tempat tinggalnya bisa menjadi desa wisata khusus eco print dan pewarna alami pakaian.
Musiyati (55), ibu dari Olin, mengaku sangat mendukung kegiatan yang dilakukan oleh sang putri. Terlebih, kegiatan itu juga bermanfaat untuk masyarakat.
Meskipun, ia mengaku, pada awalnya bertanya-tanya tentang kegiatan Olin yang dinilainya ribet dan menyebabkan barang-barag berantakan.
“Awalnya juga saya bertanya, dia itu bikin apa, kok ribet sekali, bikin berantakan, kotor. Ternyata bermanfaat juga,” ujarnya.
Sebagai bentuk dukungan, Musiyati pun turut mengumpulkan kulit bawang merah di pasar untuk anak perempuannya tersebut.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.