GILI TRAWANGAN, KOMPAS.TV – Uji coba pemberangkatan penumpang kapal cepat atau fastboat dari pelabuhan semula di tiga Gili (Trawangan, Meno, dan Air) melalui Pelabuhan Bangsal di Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), diprotes banyak pihak.
Pasalnya, uji coba kebijakan itu dinilai tak efisien dan justru membahayakan keselamatan para penumpang. Terlebih di tengah prediksi cuaca ekstrem yang melanda perairan Nusa Tenggara Barat (NTB) selama beberapa hari ke depan.
Sebelumnya, penumpang fastboat yang mayoritas terdiri dari turis asing itu bisa mengunjungi kawasan tiga Gili secara langsung, dan proses turun naik penumpang pun dilakukan di dermaga tiga Gili.
Namun, sejak dikeluarkan surat rekomendasi dari Bupati Lombok Utara pada 6 Oktober 2022 lalu, maka proses bongkar muat penumpang fasboat dari Bali, berubah sejak Senin (17/10/2022).
Proses penurunan penumpang memang masih bisa dilakukan di dermaga tiga Gili. Namun, proses muat atau pemberangkatan penumpang tak lagi bisa dilakukan di dermaga pelabuhan tiga Gili, dan harus dilakukan di Pelabuhan Bangsal di Lombok Utara.
Baca Juga: Gaduh Catcalling di Gili Trawangan, Wakil Bupati Lombok Utara: Jangan Rusak Citra Pariwisata
Ini artinya, penumpang harus menempuh rute memutar dengan menggunakan armada kapal kayu berkapasitas sekitar 40 orang milik Koperasi Karya Bahari (KKB), wadah para pemilik kapal angkutan di wilayah tiga Gili.
Penumpang dari Gili Trawangan juga harus membayar Rp20 ribu per kepala untuk perjalanan menuju ke Pelabuhan Bangsal.
Kebijakan ini diprotes banyak pihak, terutama para operator fastboat yang mengangkut para penumpang.
“Ini gila! (Kebijakan) ini sepihak, trial ini suatu kebodohan dari pemerintah. Kita lihat di lapangan bahwa kesiapan armada Karya Bahari kurang. Karena pada saat trial, tamu lama menunggu. Ini menyebabkan kapal berangkat dari Bangsal delay semua,” tutur Kadek Yogiani, operator kapal cepat Gilifastboat yang melayani pengangkutan penumpang rute Bali dan tiga Gili, saat dihubungi Kompas.tv, Senin (17/10) sore.
Menurutnya, banyak wisatawan yang mengeluhkan kebijakan itu. Pembatalan perjalanan para wisatawan menuju kawasan tiga Gili pun, sudah berdatangan.
“Kita sudah terima banyak komplain dan cancellation (pembatalan, red). Kita sudah informasi bahwa ini adalah trial, tapi banyak travel agent yang sudah cancel trip mereka ke Gili," tuturnya.
"Tamu komplain ke agen dan hotel bahwa mereka akan berangkat dengan slow boat (kapal kayu) ke Pelabuhan Bangsal. Tamu banyak yang nggak bisa terima karena merasa dibodohi. Mereka bilang, 'Aku beli tiket yang dari Gili Trawangan, kenapa naiknya mesti dari Bangsal dan bayar 20 ribu lagi?!' Begitu."
Baca Juga: Mandi Safar Gili Trawangan, Tradisi Tahunan Tolak Bala demi Bangkitkan Pariwisata usai Pandemi
Sejumlah pelaku pariwisata lainnya pula menyesalkan kebijakan itu. Bahkan, kebijakan itu disebut-sebut bakal mencoreng pariwisata tiga Gili, serta mengorbankan kenyamanan para wisatawan.
“Penumpang membayar mahal untuk tiba langsung ke tujuan mereka. Kalau mereka harus naik kapal yang panas, lambat, sesak, tidak nyaman, dengan ombak besar, ke tempat yang tidak ingin mereka tuju, lalu bongkar muat lagi, mereka akan memberi ulasan negatif dan menyarankan orang lain untuk tidak bepergian ke sini. Ini ide bodoh dan akan merugikan pariwisata yang belum pulih dari Covid-19,” tutur pelaku wisata lainnya.
Berdasarkan pantauan Kompas.tv di Pelabuhan Gili Trawangan pada Senin (17/10) siang, ratusan orang tampak mengantre untuk naik ke armada kapal kayu milik Koperasi Karya Bahari.
Terpaan angin kencang sempat membuat proses naik penumpang ke perahu berjalan tersendat. Sejumlah wisatawan yang mayoritas didominasi wisatawan asing juga tampak kebingungan dengan uji coba kebijakan baru Pemerintah Kabupaten Lombok Utara itu.
Namun, Ketua Koperasi Karya Bahari (KKB) Sabaruddin menyebut, kebijakan baru itu membuat pemerataan pendapatan bagi banyak pihak.
“Kalau lewat (Pelabuhan) Bangsal, (pendapatan) kita semua merata. Kalau (penumpang diberangkatkan) dari sini, koperasi juga dapat (pemasukan), masyarakat Pemenang (kecamatan tempat Pelabuhan Bangsal berada, -red) juga dapat (pemasukan). Contohnya tadi pagi, banyak tamu yang beli nasi bungkus, mi instan, kopi gelasan,” ujarnya pada Kompas.tv, Senin (17/10) sore.
Ia juga menampik adanya penumpukan penumpang di Pelabuhan Bangsal yang membuat penumpang tak nyaman.
“Dengan kejadian hari ini, terbukti tamu yang berangkat ke Bali dan kita bawa ke Bangsal, dan tamu yang datang dari Bali turun di Gili itu sangat nyaman sekali, tidak ada penumpukan. Jadi pemerintah sangat leluasa untuk menjalankan aturan untuk memungut retribusi,” ujarnya.
Sementara itu, Koordinator Wilayah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lombok Utara Lalu Kusnawan menyayangkan adanya kejadian itu. Menurutnya, seluruh pihak terkait seharusnya bergandengan tangan untuk mencari solusi terbaik.
“Saya menyayangkan kejadian ini berdampak seperti yang sudah kita saksikan bersama, karena membangun image itu gampang, tapi menjaga image pariwisata itu bukan hal yang mudah. Terlebih di masa pasca-pandemi, kita seharusnya bersama-sama, bergandengan tangan demi kemajuan pariwisata di tiga Gili di Lombok Utara dan NTB pada umumnya,” tutur Kusnawan yang pula menjabat sebagai Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) NTB dan Ketua Gili Hotel Association.
“Saya tidak memihak. Sekarang, satu-satunya wadah, mediator, regulator, adalah pemerintah, dalam hal ini, Pemda, bagaimana memfasilitasi, menyikapi, dan memberi solusi terbaik pada kedua belah pihak,” pungkasnya.
Adapun surat yang ditandatangani oleh Bupati Lombok Utara Djohan Sjamsu itu menyebut 3 poin rekomendasi, yakni, satu, proses bongkar atau penurunan penumpang kapal cepat dari Bali dilakukan di dermaga tiga Gili.
Dua, untuk proses pemberangkatan seluruh kapal cepat rute Bangsal – Padangbai diberangkatkan dari Pelabuhan Bangsal; dan ketiga, penumpang yang berasal dari tiga Gili diangkut oleh armada pelayaran rakyat yang diselenggarakan oleh Koperasi Karya Bahari.
Dalam suratnya, Bupati Lombok Utara juga menyebut, kebijakan itu bertujuan agar terwujud keadilan antar-pelaku transportasi dan sinergitas atau kerja sama antara pemerintah daerah dengan koperasi angkutan lokal dalam penarikan retribusi pendapatan asli daerah (PAD) yang lebih efektif.
Sebelumnya, kompensasi sebesar Rp20 ribu per penumpang yang dibayarkan perusahaan fastboat yang menurunkan penumpang di kawasan tiga Gili pada KKB itu telah berjalan sejak lama berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh kedua pihak pada 2013 silam.
Namun, pembayaran kompensasi itu terhenti sejak pandemi, dan belum diberlakukan lagi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.