YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Pembuatan sebilah keris berpamor membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan bahan baku besi serta nikel yang beratnya bisa mencapai puluhan kilogram.
Dua pria paruh baya tampak serius menempa batang besi berwarna orange kemerahan. Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo duduk di sebelah kiri sambil memegang batang besi panas menggunakan penjepit.
Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo merupakan empu atau pembuat keris keturunan ketujuh belas dari Empu Supa, pembuat keris Kerajaan Majapahit, sekaligus dapat dikatakan sebagai penerus warisan budaya.
Sementara, pria paruh baya lainnya, yang merupakan karyawan atau anak buah Empu Sungkowo, berdiri sambil memegang martil besar.
Urat-urat tampak menonjol pada lengan dan jemarinya yang mulai terlihat keriput.
Saat Empu Sungkowo meletakkan batang besi di atas pengalas, tangannya lincah mengayunkan martil yang dipegang.
Besi pijar itu memercikkan api saat kepala martil menghantamnya. Perlakuan itu berulang hingga belasan bahkan mungkin puluhan kali.
Pagi itu, Senin (12/9/2022), hanya Empu Sungkowo dan seorang pegawainya yang bekerja di ruangan berdinding batu bata berpadu dengan anyaman bambu.
Dalam ruangan remang-remang berukuran sekitar 4x5 meter itulah proses penempaan besi dan nikel sebagai bahan pamor dilakukan.
Sumber cahaya di ruangan tersebut hanya berasal dari lampu yang tergantung di tengah ruangan dan jendela kecil tepat di sudut kanan, serta api dari tungku pembakaran.
Suara berderu dari tungku pemanggang besi terdengar mengiringi benturan martil dengan besi pijar, sesekali juga diiringi suara gemeretak arang yang dimakan api.
Sambil terus bekerja, Ki Empu Sungkowo menjelaskan proses pembuatan sebilah keris. Pantulan cahaya bara api di tungku pembakaran terlihat jelas pada kacamatanya.
Pembuatan keris tidak sama dengan proses pembuatan senjata tikam lain, karena ada filosofi dan kepercayaan bahwa tuah memiliki tuah tertentu.
Sehingga pembuatannya pun melalui proses ritual tertentu, salah satunya adalah Empu Sungkowo berpuasa selama tiga hari sebelum memulai proses pengerjaan.
Meski hanya tiga hari, puasa yang dilakukan oleh Empu Sungkowo terhitung 40 hari, karena ia melaksanakannya berdasarkan hitungan penanggalan tertentu dalam kalender Jawa.
Empu Sungkowo juga selalu menanyakan tanggal lahir pemesan keris buatannya. Sebab, masing-masing orang dipercaya akan lebih cocok menggunakan keris dengan dapur atau bentuk dan pamor tertentu.
Selain disesuaikan dengan tanggal lahir pemesan berdasarkan kalender Jawa atau weton, ia juga harus mengetahui profesi calon pengguna kerisnya.
“Untuk masing-masing orang beda kerisnya, tergantung profesi dan tanggal lahir atau weton. Harus tahu wetonnya apa, nanti dapurnya apa, pamornya apa, disesuaikan dengan profesinya.”
Meski demikian, ia tidak akan menolak jika pemesan memilih sendiri tangguh, dapur, maupun pamor keris sesuai keinginan mereka.
Tetapi, sebagai seorang empu yang paham pakem dan kesesuaian keris dengan pemakainya, ia akan menyarankan orang itu memesan keris yang sesuai.
Pada proses awal, ia membakar besi mentah sambil mengetes kualitas bahan. Jika besi tersebut berkualitas bagus, tidak akan putus saat ditempa.
“Proses pembuatan, dari besi kotor, dari besi seperti ini,” ucapnya sambil menunjukkan lempengan besi berbentuk kotak.
“Sambil ngetes besi, sambil menghilangkan karat, dibakar dan ditempa,” lanjutnya saat ditemui di lokasi pembuatan keris sekaligus rumahnya, Gatak, Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman.
Lempengan besi yang akan diproses menjadi sebilah keris bukan hanya sebatang. Ia akan membuat antara enam, sembilan, hingga 12 batang lempengan besi.
Setelah membuat lempengan besi sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan, selanjutnya lempeng-lempeng itu disusun. Di antara masing-msing lempengan besi, disisipkan lempengan nikel atau meteor yang akan menjadi pamor.
Susunan besi dan nikel atau batu meteor tersebut kemudian dijepit dan kembali dibakar atau ia menyebutnya dipijar, lalu ditempa agar menyatu.
“Besi yang bagus itu ulet dan tidak putus. Kalau besinya jelek ditempa putus, apalagi kalau dipijar, pasti rontok.”
Pembuatan sebilah keris yang sekilas terlihat kecil ternyata membutuhkan belasan hingga puluhan kilogram besi serta empat ons nikel, tergantung pada tangguh atau gayanya.
Untuk tangguh Entho-entho, dibutuhkan 12 kilogram besi dan 150 gram nikel. Sementara, untuk tangguh Sendang Sedayu, dibutuhkan 27 kilogram besi dan empat ons nikel.
Setelah besi dan nikel disatukan, Ki Empu Sungkowo dan karyawannya akan kembali menempanya, agar bentuk lempengannya memanjang.
Lalu, lempengan panjang tersebut dilipat, kemudian kembali ditempa, demikian berulang hingga lipatannya mencapai jumlah yang dikehendaki.
Lipatan pamor keris terbanyak ada pada keris tangguh Sendang Sedayu, yakni mencapai 4.096 lipatan, sedangkan untuk tangguh Entho-entho hanya 256 lipatan.
“Paling sedikit ya paling-paling model madura, itu lipatannya antara 4 sampai 64 lapis. Kalau tangguh Entho-entho di sini 256 lapisan pamor,” tuturnya.
Pamor yang ada pada keris cukup beragam, tetapi menurutnya yang paling rumit adalah pamor rekan atau pamor buatan yang bentuknya miring.
Sebab, pamor untuk membuat pamor miring, Ki Empu Sungkowo harus mengambil dari sisi miring keris, berbeda dengan pamor mlumah seperti yang ada pada kebanyakan keris.
Setelah jumlah lipatan pamor mencukupi, campuran besi dan nikel atau batu meteor itu lalu dibentuk menjadi sebilah keris.
Tapi, itu belum selesai. Proses pembuatan masih dilanjutkan dengan proses pembuatan saton atau calon bilah dan calon gonjo.
Gonjo adalah bagian keris yang terletak antara bilah dan pegangan yang disebut dengan deder.
“Saton itu nanti dibagi dua, tengahnya dikasih baja untuk kekuatan. Setelah itu jadi namanya kondoan.”
“Setelah itu baru dibuat bentuk keris, tinggal mau dibikin luk (berlekuk) atau lurus,” jelasnya.
Total waktu yang dbutuhkan untuk membuat sebilah keris bisa mencapai satu bulan hingga 40 hari, tergantung kerumitan dan tenaga.
Melihat proses pembuatannya yang rumit dan membutuhkan ketelitian, tak heran jika harga keris buatan Ki Empu Sungkowo mencapai puluhan juta rupiah.
Harga keris tersebut tergantung pada tangguh serta pamor atau bisa dikatakan tergantung pada tingkat kerumitan dan kebutuhan bahan baku.
Menurutnya, pembuatan pamor keris paling mudah adalah pamor kulit semangka, sedangkan tangguh termudah adalah Entho-entho dan Madura.
“Kalau wilahnya (bilah) saja yang paling rendah ya sekitar Rp10 juta.”
“Paling rumit itu tangguh Sendang Sedayu, pamornya pamor miring, yang diambil sisi miringnya,” tutur empu yang sudah menekuni pembuatan keris sejak tahun 1995 ini.
Ia menegaskan, harga per bilah keris buatannya antaraRp10 juta hingga Rp20 juta.
Kualitas kerisnya yang tidak diragukan membuat banyak orang dari luar negeri yang memesan pada keturunan pembuat keris Kerajaan Majapahit ini.
Ia menyebut, pemesan kerisnya bahkan berasal dari luar negeri, seperti Eropa, Amerika, Australia, hingga Asia.
Bahkan keluarga Keraton Yogyakarta pun tak jarang memesan keris dari Empu Sungkowo, termasuk Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
“Kadang-kadang kalau Sultan sebagai gubernur kalau buatkan souvenir kadang-kadang lewat saya. Kadang juga kalau pangeran-pangeran adiknya Sultan sering buat di sini, sering ke sini juga.”
Saat ini, Ki Empu Sungkowo masih menyelesaikan beberapa bilah keris pesanan. Sehingga jika ada orang yang hendak memesan keris, harus menunggu antara 1,5 hingga dua tahun.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.