JAKARTA, KOMPAS.TV - Desa adalah tempat yang kerap menjadi pelarian bagi masyarakat urban. Saat jenuh dengan kehidupan di kota, mereka pergi ke desa untuk melepas penat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik masyarakat desa dan kota terkait cara hidup dan sistem sosialnya.
Dari segi teknologi, masyarakat desa sering dianggap lebih kuno daripada orang kota. Meskipun begitu, pedesaan menawarkan nuansa kedamaian yang bahkan tak bisa dihadirkan oleh teknologi sekali pun.
Hal ini juga dirasakan oleh Eko Prawoto, seorang arsitek yang selalu menonjolkan lokalitas Nusantara. Ia membagikan pandangannya terkait kehidupan di desa dalam siniar Beginu episode “Tinggal di Desa, Belajar Selaras dengan Alam” di Spotify.
Setelah berkutat dengan kerasnya kehidupan kota, Eko memutuskan tinggal di tepi Kota Yogyakarta untuk berselaras dengan alam. Eko mengubah hidupnya agar sejalan dengan putaran nadi pedesaan. Ia memahami desa sebagai kesinambungan antara alam dan penghuninya.
Menurutnya, desa memberikan penghuninya kesehatan yang tak bisa dimiliki masyarakat kota. Ia pun menegaskan, “Desa lebih rileks dan fisiknya lebih sehat. Semua anjuran kesehatan sudah dilakukan.”
Baca Juga: Tanggapan Komnas HAM soal Dianggap Banyak Bicara dalam Kasus Brigadir J
Hal menarik lainnya yang membuat Eko berbinar adalah kesederhanaan desa. Ketika memutuskan tinggal di desa, artinya kita harus siap dengan segala konsekuensinya. Artinya, harus mampu mandiri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.
Eko mengungkapkan bahwa melakukan hal itu tidaklah sulit. Ia justru mulai sadar dari kegiatan-kegiatan kecil, seperti menyapu. “Selain menyapu, kita mengenal lingkungan dan melihat alamnya,” pungkasnya.
Pria lulusan Universitas Gadjah Mada tahun 1977 itu menambahkan, “Seperti kalo daun kering, saya mencoba gak nganggep itu sampah sehingga menggeser pemaknaan itu sebagai art material."
Dari situ, Eko pun mulai merasa bahwa alam merupakan bagian dari hidupnya. Ia pun tak lagi memandang alam dari satu sisi, melainkan melihatnya secara utuh.
Selain lokalitas Nusantara, Eko selalu menonjolkan nuansa kemanusiaan dan hunian hijau dalam karyanya. Ia sering menggabungkan bahan-bahan bangunan lokal yang bersifat alami dan menyelaraskannya dengan alam Indonesia.
Prinsip ini ia dapatkan karena menurutnya, kehidupan modern memberikan dampak besar kepada alam. “Kita membangun kehidupan modern yang artifisial itu tidak selesai; ada yang bolong-bolong. Misalnya, sampah, limbah. Tapi kalo alam itu sempurna,” ujarnya.
Eko pun berubah jadi pribadi yang lebih rileks karena banyak hal yang berada di luar kendali manusia. “Arsitek harus tahu diri. Kita menaruh sesuatu di tempat yang lebih tua dan punya peran yang lebih luas,” kata Eko.
Baca Juga: Hasil Autopsi Ulang Brigadir Yosua Diumumkan Hari ini, Keluarga Tak ada yang Ditutupi
Jadi, sudah seharusnya kita mengapresiasi dan menyesuaikan apa yang dibuat dengan keadaan di alam. Eko juga menegaskan untuk, “Merubah dan menaruh yang seperlunya saja yang sifatnya sementara.”
Lewat pandangannya itu, Eko jadi lebih banyak mengeksplor bagaimana ciri khas arsitektur desa. Ia pun menggunakan bahan-bahan di desa yang sebelumnya tak dianggap familier untuk bahan bangunan dan dekorasi.
Meskipun begitu, banyak orang yang berpersepsi bahwa desa adalah wilayah yang harus dimodernkan. Padahal, desa dan alamnya juga memiliki ciri khasnya sendiri. Keunikan itulah yang sesungguhnya tak dimiliki oleh kota.
Dengarkan kisah hidup lainnya yang inspiratif dari para tokoh terkemuka hanya melalui siniar Beginu di Spotify. Di dalamnya, ada banyak fakta-fakta yang belum terungkap dan pengalaman berkesadaran yang penuh makna.
Tunggu apalagi? Yuk, ikuti siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbarunya tiap Senin, Rabu, dan Jumat. Akses sekarang juga siniarnya melalui tautan https://dik.si/beginupodcast.
Penulis: Alifia Putri Yudanti dan Fandhi Gautama
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.