Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan tegas menolak semua tatanan baru tersebut. Akibatnya, Daendels sendiri datang ke Yogyakarta membawa 3300 pasukan untuk menekan Sri Sultan.
Sultan dipaksa turun tahta dan digantikan oleh putra mahkotanya RM. Surojo sebagai Hamengku Buwono III pada tanggal 31 Desember 1810.
Hamengku Buwono III diharuskan menandatangani kontrak dengan Belanda dengan syarat-syarat yang memberatkan. Namun perjanjian yang ditandatangani pada Januari 1811 ini tidak sempat dilaksanakan karena keburu Inggris datang dan memukul mundur Belanda.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk mengambil kembali tahtanya. Beliau menurunkan status Hamengku Buwono III kembali ke posisi sebelumnya dan mengeksekusi Patih Danurejo II yang didapati terbukti bersekongkol dengan Daendels.
Sifat keras kepala Sri Sultan Hamengku Buwono II lagi-lagi menempatkan beliau berhadap-hadapan dengan bangsa asing.
Di bawah pimpinan Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford Raffles, Keraton Yogyakarta diserang oleh prajurit Sepoy asal India pada tanggal 20 Juni 1812. Akibat gempuran tersebut, keraton diduduki, harta benda termasuk ribuan karya sastra Jawa dijarah, Sri Sultan Hamengku Buwono II ditangkap dan kemudian diasingkan ke Pulau Pinang hingga tahun 1815.
Tak lama diasingkan, Sultan kembali ke kampung halamannya sejurus dengan penyerahan kembali jajahan Belanda oleh Inggris pada tanggal 9 Agustus 1816.
Belanda pun segera membahas posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang dianggap sebagai ancaman besar. Maka pada tangal 10 Januari 1817 Sri Sultan Hamengku Buwono II dibuang ke Ambon.
Dalam kurun pengasingan kondisi di keraton terjadi banyak peristiwa mulai dari Sultan Hamengku Buwono III meninggal, digantikan oleh putranya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IV.
Tak lama, Sri Sultan Hamengku Buwono IV meninggal dan kemudian digantikan oleh putranya yang masih belia sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono V. Saat itulah kemudian menyusul perlawanan terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Kolonial Belanda, yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Baca Juga: Ini Titah Raja Keraton Yogyakarta ke Warga Pakem
Posisi Sri Sultan Hamengku Buwono II yang kemudian disebut sebagai Sultan Sepuh, dipahami oleh Belanda bahwa selain menjadi ancaman juga bisa menjadi penengah karena didengarkan oleh semua kalangan bangsawan istana. Maka diputuskan untuk memulangkan kembali Sri Sultan Hamengku Buwono II ke Yogyakarta, dan mengangkat kembali sebagai sultan untuk yang ketiga kalinya pada tanggal 20 September 1826.
Pada periode kepemimpinannya yang ketiga ini, usia senja membuat kesehatan Sri Sultan Hamengku Buwono II menurun drastis.
Pada tanggal 3 Januari 1828 (15 Jumadilakir 1755), Sri Sultan Hamengku Buwono II mangkat karena sakit. Beliau dimakamkan di Kotagede tanpa prosesi sebagaimana layaknya seorang raja hingga ke Imogiri. Sebab saat itu, perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro sedang berkecamuk.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.