YOGYAKARTA, KOMPAS.TV – Sekilas tidak ada yang istimewa dari gerbong kereta api yang terpajang di bagian tengah Museum Brawijaya Malang. Terlihat seperti gerbong tua lainnya.
Gerbong itu berwarna abu-abu. Diam di bawah seng atap cungkup sederhana. Tiang-tiang cungkup terbuat dari pipa besi berwarna kuning, dengan pagar besi berwarna hijau mengelilingi gerbong.
Empat roda besi menyangga gerbong berukuran mempunyai panjang 5,27 meter, lebar 2,82 meter, dan tinggi 3,34 meter.
Di bagian tengah roda, tertulis SS 1920, yang menunjukkan bahwa gerbong itu milik perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda (Staats Spoorwegen) yang dibuat pada 1920.
Dilansir laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada badan gerbong, tepatnya di bagian yang mirip pintu terdapat tulisan GR 10152.
Kode GR merupakan kode yang digunakan untuk gerbong kereta barang yang mempunyai pintu yang dapat ditutup.
Lingkaran hitam juga terdapat di beberapa bagian gerbong.
Baca Juga: Berulang Tahun Hari Ini, Begini Sejarah Kelahiran Korps Marinir TNI AL
Orang-orang mengenal gerbong tersebut sebagai gerbong maut, yang menyimpan sejarah mengerikan.
Hari ini 74 tahun lalu, tepatnya 23 November 1947, puluhan tawanan yang diangkut dengan gerbong tersebut meninggal dunia dengan mengenaskan.
Saat itu, setelah Bagian Keamanan Marinir Belanda atau VDMB (de Veiligheidsdienst van de Mariniers Brigade) berhasil menduduki Bondowoso pada Februari 1947, mereka mulai melakukan pemindahan tawanan.
Mayoritas dari para tawanan yang akan dipindahkan itu adalah pejuang dari Bondowoso, Jawa Timur.
Banyaknya pejuang yang ditangkap membuat kapasitas penjara yang ada di Bondowoso melebihi kapasitas.
Rencananya, sebagian dari para tahanan itu akan dipindahkan ke Penjara Bubutan di Surabaya. Pemindahan tahanan mulai dilakukan pada November 1947.
“Dalam buku Monumen Perjuangan Jawa Timur (1986) diceritakan bahwa para tahanan itu dipindahkan menggunakan kereta api,” demikian tertulis pada laman Kemendikbud.
Awalnya, sebanyak 200 tahanan berhasil dipindahkan. Para tahanan ini dipindahkan menggunakan kereta api penumpang dalam dua tahap.
“Pemindahan tahanan tahap ketiga dilakukan menggunakan kereta api barang. Mereka berjejalan di dalam tiga gerbong berkode GR 5769, GR 4416, dan GR 10152.”
Pada tanggal 23 November 1947 dini hari, pemindahan tahap ketiga dilakukan. Tentara Belanda telah menyiapkan tiga gerbong di Stasiun Bondowoso untuk mengangkut para tahanan.
Gerbong pertama dengan kode GR 5769 berisi 32 tahanan. Gerbong kedua dengan kode GR 4416 berisi 30 tahanan. Gerbong ketiga dengan kode GR 10152 berisi 30 tahanan.
Mereka terdiri atas rakyat biasa, laskar rakyat, anggota Tentara Republik Indonesia (TRI), dan anggota polisi.
Pada pukul 05.00 pagi seluruh tahanan sudah berada di dalam gerbong. Namun, mereka harus menunggu di dalam gerbong selama 2,5 jam. Kereta baru diberangkatkan pada pukul 07.30.
Perjalanan menuju Stasiun Wonokromo Surabaya melewati rute Jember–Probolinggo–Jatiroto tersebut memakan waktu sekitar 13 jam.
“Selama perjalanan para tahanan yang berhimpitan di dalam gerbong tidak diberi makan atau pun minum.”
Kereta api yang membawa mereka berhenti selama tiga jam di Stasiun Jember. Selama tiga jam itu pula kereta api terjemur terik matahari.
Baca Juga: Sejarah Penetapan 10 November sebagai Hari Pahlawan
Cuaca terik ditambah dengan kondisi gerbong yang tanpa ventilasi menjadi siksaan yang tak manusiawi untuk para penumpang di dalamnya, mengakibatkan penderitaan luar biasa bagi para tahanan itu.
“Akhirnya, sesampainya di Surabaya, 46 tahanan tak dapat lagi bertahan. Mereka meninggal dunia dalam penderitaan.”
Saat ini, gerbong maut tersebut berstatus Cagar Budaya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/107/KPTS/013/2015.
Tim Ahli Cagar Budaya Nasional menetapkan gerbong ini sebagai Benda Cagar Budaya Peringkat Nasional dalam sidang kajian di Banyuwangi pada 2018 lalu.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.