YOGYAKARTA, KOMPAS.TV- Sejumlah lokasi yang diduga sebagai kantor perusahaan peminjaman online (pinjol) ilegal digerebek polisi. Karyawan-karyawan perusahaan tersebut pun turut diamankan.
Meski begitu, masyarakat diminta tidak memojokkan sebagian pegawai pinjol ilegal itu lantaran mereka juga dianggap sebagai korban.
Demikian disampaikan Sosiolog Kriminalitas dari Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Soeprapto.
Menurutnya, sebagian para pekerja di perusahaan pinjaman daring ilegal itu adalah korban ketidaktahuan terhadap legalitas dan proses kerja perusahaan.
"Saya berharap pihak pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa sebagian di antara mereka itu adalah korban. Korban dari ketidaktahuan bahwa itu ilegal," kata Soeprapto seperti dikutip dari Antara, Selasa (19/10/2021).
Baca Juga: Polisi Kembali Gerebek Kantor Pinjol Ilegal, Kali Ini di Kelapa Gading
Ia menjelaskan, hingga saat ini tidak banyak pelamar pekerjaan yang mempertanyakan legalitas perusahaan pemberi tawaran lowongan pekerjaan, termasuk pinjol.
"Saya yakin tidak ada satu pelamar yang mempertanyakan apakah lembaga itu legal atau tidak. Jadi begitu ada lowongan langsung daftar apalagi prosesnya secara online (daring)," ungkap Soeprapto.
Maka dari itu, ia juga meminta masyarakat tidak serta-merta memojokkan para pekerja yang direkrut perusahaan pinjaman daring ilegal.
Selain minim informasi soal legalitas, mereka juga korban ketidaktahuan dari proses kerja perusahaan.
Soeprapto bahkan mengaku pernah mewawancarai tujuh orang debt collector berusia 25 hingga 35 tahun di Yogyakarta untuk penelitian. Dua di antaranya bekerja di perusahaan pinjaman daring.
Baca Juga: Waspada Data Pribadi Dicuri untuk Akses Aplikasi Pinjol, Ini Pencegahannya
Berdasarkan penelitian selama tiga tahun terakhir, dia menyimpulkan setidaknya ada tiga faktor yang memicu generasi muda berusia produktif terjebak pekerjaan pinjaman daring ilegal.
Pertama, mereka menganggap bahwa pekerjaan pinjol sekadar sebagai batu loncatan sebelum mendapatkan pekerjaan utama, terlebih proses seleksi yang tidak rumit.
Kedua, enggan melakukan pengecekan aspek legalitas perusahaan saat hendak melamar, dan terakhir adalah sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
"Lapangan pekerjaan makin terbatas, terlebih lagi di masa pandemi ini, mencari mata pencaharian itu tidak mudah jadi mereka lalu terlibat di sana," lanjut Soeprapto.
Baca Juga: Asosiasi Fintech Berhentikan Anggotanya yang Terlibat Penagihan Pinjol Ilegal
Masih berdasarkan penelitiannya, para pekerja pinjaman daring sejatinya tak merasa nyaman dengan metode penagihan menggunakan kalimat kasar atau ancaman.
Meski demikian, mereka merasa memiliki kewajiban untuk mengikuti proses kerja yang telah ditanamkan pimpinan perusahaan.
"Saya sempat mewawancarai para debt collector itu. Ternyata sebetulnya tidak semuanya merasa nyaman dengan cara itu. Tetapi mereka punya kewajiban mengikuti apa yang 'didoktrinkan' pimpinan," tandasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.